Lisa terdiam. Tangannya sibuk mengepal tatkala lagi-lagi ia kalah cepat dengan Bogum. Kini pria itu dapat melihat wajahnya dengan sangat jelas.
"Mari kita akhiri.", ucap Bogum sembari duduk disalah satu bangku yang ada di ruangan. Tangannya sibuk merogoh sepatung rokok dikantungnya. Setelah memgambil sepatung rokok, Bogum menghisapnya santai.
"Tak sulit bagimu untuk membunuhku, lantas mengapa kau mengulur waktu?" tanya Bogum dengan asap rokok yang mengepul dilangit-langit ruangan. Biarkan dirinya bersantai sebelum ia menjalankan rencana terakhirnya.
Lisa memutuskan untuk diam. Menjawab pertanyaan Bogum hanya membuang waktunya. Bogum yang merasa tak mendapat respon apapun dari Lisa kini terkekeh geli.
"Mengapa saat ini kau seolah ingin ikut mencari bukti kejahatanku? Aku tahu ini tidak ada untungnya bagimu," lagi-lagi Lisa hanya diam.
"Woa, apa kau bekerjasama dengan polisi? Fenomena unik apa ini?" saut Bogum dengan nada terkejut yang dibuat-buat. Namun beberapa detik kemudian, sorot matanya berubah menjadi tajam.
"Kau tahu apa prinsipku?" Bogum kini menatap halaman gudang dari cendela ruangan tempatnya berdiri saat ini.
"Jika lawan tidak bisa mati sendirian, maka aku akan membuatnya mati bersamaku," setelah menyelesaikan kalimatnya, Bogum bergerak mendekatkan bibirnya pada telinga Lisa.
"Aku ahli membuat seseorang menderita perlahan," saat itu juga Lisa melayangkan sebuah pukulan yang mampu Bogum tersungkur dilantai.
"Matilah sendirian, brengsek," ucap Lisa dengan sorot mata penuh amarah.
"Aniyo, mari mati bersama," asap tiba-tiba muncul setelah Bogum menekan tombol dari remot. Asap itu benar-benar memenuhi ruangan. Bahkan ia tak bisa melihat tubuh Bogum saat ini. Tanpa Lisa sadari, momen ini Bogum manfaatkan untuk kabur.
"Fuck," gumam Lisa yang mulai kehilangan jejak Bogum. Gadis itu memutuskan untuk melangkahkan kakinya meninggalkan gedung. Mengabaikan Bogum yang kabur entah kemana. Tubuhnya sudah tak mampu untuk bergerak lebih jauh.
Dengan langkah terserok ia bergegas meninggalkan gedung sembari memegangi perutnya yang kini penuh dengan darah. Tanpa ia sadari ia melupakan satu hal yang penting.
Topeng.
Wajah Rosè merupakan wajah orang pertama yang ia lihat saat ini.
"K- Kau...."
Dengan sisa tenanganya, ia melangkahkan kakinya menuju keluar gedung. Mengabaikan Rosè yang masih membeku ditempatnya. Lisa yang masih tak sadar dengan kelalaiannya merasa bingung dengan tingkah aneh Rosè.
Ia langsung bergegas menuju mobil miliknya yang terparkir di halaman gedung, sampai tiba-tiba sebuah tangan menariknya.
"Diamlah, lukamu bisa melebar," ucap Jennie sembari menarik Lisa untuk diberikan pertolongan pertama. Namun yang membuat Lisa heran, mengapa air mata membanjiri pipi Jennie?
"Sudah kubilang jangan ikut campur," ucap Lisa dingin sembari menepis tangan kakaknya. Kini Lisa dibuat terkejut tatkala Jennie kembali mencekal lengannya dengan lebih kuat.
"Apa sekarang aku tidak boleh ikut campur saat adikku sendiri terluka?" tanya Jennie datar namun terdengar menusuk. Saat itu juga Lisa baru menyadari kebodohannya. Dengan panik ia meraba wajahnya yang tak tertutupi oleh apapun. Gadis itu sontak langsung membuat ancang-ancang untuk kabur sampai tiba-tiba Jennie memeluknya erat.
"Jangan pergi lagi, jebal..." Lisa membeku di tempatnya. Dengan hati-hati Jennie menuntun Lisa untuk terlentang dan memberikan pertolongan pada luka gadis itu. Wajah Lisa kini mulai basah karena tetesan air mata Jennie. Terdengar gumaman minta maaf berkali-kali dari mulut kakaknya. Namun ia sudah tak kuasa menahan rasa sakitnya. Matanya bahkan sudah memburam saat ini.
"Jebal... Jangan tinggalkan unnie.. Jebal..." kalimat itulah yang terdengar pada telinga Lisa sebelum gadis itu benar-benar menutup matanya.
■
Keluarga Kim kini duduk di depan ruang operasi. Jennie dan Rosè menangis tersedu dipelukan Jisoo. Sungguh Jennie tak mampu menangani adik bungsunya. Hatinya tak sanggup melihat adiknya dalam keadaan seperti ini. Sedangkan Jisoo hanya bisa menenangkan adik-adiknya. Berbeda dengan putri-putrinya, kini Gongyo sibuk mondar-mandir. Bagaimana tidak, ia baru mendapat informasi bahwa putri bungsunya ditemukan dalam keadaan sekarat.
"Unnie.. Aku kakak yang buruk.. Selama ini dia ada di dekatku namun aku tak pernah menyadarinya," Rose terus berucap dengan suara bergetar.
"Aniyo.. Ini bukan salahmu.." bantah Jisoo berusaha menenangkan adiknya.
Perhatian mereka teralihkan tatkala dokter yang menangani Lisa keluar dari ruang operasi. Jennie adalah orang pertama yang maju menghadap dokter. Dengan menggunakan bahasa Italia, mereka berbincang mengenai kondisi Lisa.
"Bagaimana keadaan adikku?" tanya Jennie dengan suara seraknya.
"Meskipun sempat mengalami kritis karena kehilangan banyak darah, tapi syukurnya tusukan itu tidak mengenai organ pentingnya. Kita bisa memindahkannya ke ruang rawat," sontak Jennie menghembuskan nafas lega.
"Tuhan... Terimakasih..."
■
Atap putih merupakan pemandangan pertama Lisa ketika membuka matanya. Dengan kepala berdenyut, ia memaksakan diri untuk terbangun dari tempatnya tanpa menimbulkan suara.
Kini mata Lisa menangkap keberadaan Jennie yang tengah tertidur dengan posisi kepala menopang pada brankarnya. Sedangkan Rosè dan Jisoo tertidur dalam keadaan terduduk disamping Jennie. Wajah lelah sangat jelas menghiasi wajah mereka.
Namun dengan perlahan Lisa mulai mencabuti alat-alat medis yang menancap pada tubuhnya. Hal terpenting saat ini adalah kabur dari sini. Kini matanya mengitari seisi ruangan, berusaha mencari keberadaan ponselnya. Tak mendapati keberadaan ponselnya, ia langsung saja bergegas dari ruangannya tanpa basa-basi. Sampai tiba-tiba tubuhnya menubruk tubuh seseorang hingga membuat gadis itu tersungkur.
"Kau ingin kemana?" tanya Gongyo sembari menatap putrinya yang kini sudah tersungkur di lantai. Tentu saja Gongyo senang putrinya sudah sadar, namun kini ia waswas Lisa akan berusaha untuk kabur.
Suara gaduh yang dihasilkan ayah dan anak itu sontak membangunkan ketiga gadis Kim yang lain. Ekspresi mereka sama terkejutnya tatkala mendapai Lisa yang sudah tak ada di brankarnya.
"Lisa!" pekik Rosè sembari berhambur kearah Lisa. Gadis itu hendak membantu Lisa bangkit dari tempatnya, namun yang ia dapatkan adalah tepisan dari adik bungsunya.
"Apa kau berusaha kabur?" tanya Jisoo sembari ikut menghampiri adik bungsunya. Jennie kini membuntuti Jisoo dari belakang.
Kini Lisa menatap satu persatu wajah yang ada di dalam ruang inapnya dengan sorot mata tajam. Ia mengambil nafas dalam-dalam sebelum melontarkan kalimatnya.
"Sudah kubilang, jangan ikut campur dalam hidupku," Jisoo dan Gongyo kini saling bertatapan satu sama lain dengan ekspresi terkejut. Sedangkan Jennie dan Rosè hanya menghembuskan nafas berat. Mereka sudah mendapati sifat dingin Lisa sejak di gudang.
"Kau adikku, Kim Lisa!" saut Jennie dengan suara meninggi. Ia harap bentakannya dapat menyadarkan gadis itu.
"Adik?" 1 kata dari Lisa mampu membuat mata ketiga gadis Kim memanas. Entah kenapa hati mereka seolah remuk begitu saja.
"Lisa-ya..." gumam Rosè sembari berusaha sebisa mungkin untuk menahan air matanya agar tidak keluar.
"Jangan panggil aku dengan nama itu. Aku Lalice, bukan Lisa."
Note
Happy monday gaes. Jangan lupa ramein and see u di ch berikutnya. Nih yang request buat mempertemukan mereka, sudah kukabulkan~

KAMU SEDANG MEMBACA
Home?
Fiksi PenggemarKim Lisa, perempuan berdarah bangsawan yang terpaksa kehilangan segalanya karena bakat yang ia miliki. Demi melindungi keluarganya, Lisa tumbuh menjadi manusia berhati dingin. Lisa rela melakukan apapun untuk mencapai tujuannya, bahkan dengan tumpah...