Gongyo pulang ke mansion dengan penampilan jauh dari kata baik. Kepulangannya tentu langsung disambut baik oleh para maid. Namun baru saja satu langkah memasuki mansion, dadanya terasa sesak tatkala bayang-bayang Hyekyo menghantuinya. Namun sebisa mungkin ia melawannya. Gongyo tidak bisa terus-terusan kabur dari semua ini.
"Appa?", sapa Jennie berusaha memastikan. Berhari-hari ayahnya tidak pulang, dan Jennie berusaha maklum akan hal itu. Pasti ayahnya masih terpukul dengan kepergian ibunya. Meskipun Jennie sendiri tidak tahu apa yang dilakukan Gongyo selama berhari-hari, namun gadis itu tidak ingin ambil pusing. Ia tahu Gongyo bukan tipikal pria-pria berhidung belang diluar sana.
"Jennie-ya, apa kau tidak kuliah?", tanya Gongyo yang dibalas oleh gelengan putrinya.
"Aku mengambil cuti.", jawab Jennie yang langsung diangguki oleh Gongyo. Sejujurnya Gongyo mensyukuri keputusan Jennie. Gongyo ingin putrinya fokus pada mentalnya terlebih dahulu.
"Dimana saudari-saudarimu?", tanya Gongyo sembari menatap setiap sudut ruang tamu tempatnya berdiri saat ini.
"Jisoo unnie sedang kuliah, Chaeyoung menginap di apartemem temannya.", jawaban Jennie hanya mendapat anggukan dari ayahnya. Namun beberapa detik kemudian Gongyo sadar tatkala ada satu nama yang tidak disebut oleh putrinya.
"Bagaimana dengan adik bungsumu?", tanya Gongyo yang langsung mendapati ekspresi tidak mengenakkan dari Jennie.
"Bisakah appa tidak menanyakan hal itu padaku?", Gongyo kini melongo mendengar kalimat putrinya. Sebenarnya apa yang terjadi selama dirinya pergi? Gongyo masih berusaha untuk tidak berburuk sangka. Mungkin Jennie dan Lisa tengah terlibat pertengkaran kecil seperti gadis-gadis pada umumnya.
"Arasseo. Appa akan beristirahat dulu, ne? Katakan saja jika butuh sesuatu.", ucapan Gongyo hanya dibalas oleh anggukan sekilas dari Jennie. Ia kini melanjutkan langkahnya keluar mansion. Ada satu tempat yang ingin ia kunjungi saat ini.
■
Pemakaman elit merupakan tempat Jennie saat ini. Sebuah batu nisan bertulisan nama ibunya sudah ada di hadapannya.
"Anyeong, eomma. Aku kembali.", sapa Jennie seolah berbicara langsung dengan Hyekyo. Tangannya sibuk mengusap batu nisan ibunya dengan sangat lembut.
"Maafkan aku eomma... Maafkan aku karena tidak bisa menyelamatkanmu...", setetes air mata lolos begitu saja dari mata Jennie. Refleks ia langsung menyekanya.
"Bagaimana aku bisa menyandang gelar dokter jika aku tidak bisa menyelamatkan ibuku sendiri?", air mata yang tadinya hanya jatuh tetes demi tetes, kini mulai deras. Membiarkan wajah sang empu basah karena air matanya sendiri.
"Rasa bersalah itu terus mencekikku, eomma.", ucap Jennie dengan senyum dan tangis bersamaan. Teringat setiap malam dirinya harus berjuang melawan rasa traumanya seorang diri.
"Aku tahu itu bukan salahnya, eomma.. Aku tahu kau pasti sedih melihat sikapku..", gumam Jennie dengan suara bergetar. Mengingat semua perlakuannya yang sangat keterlaluan pada seseorang.
"Setiap menatapnya, bayang-bayang kejadian itu muncul begitu saja. Itu sangat menyakitkan...", ucap Jennie dengan air mata yang terus mengalir.
"Bahkan apa yang keluar dari mulut dan hatiku tidak pernah sinkron.", lanjut Jennie seolah mendongeng pada ibunya. Mengeluarkan isi hatinya yang tidak berani ia ungkapkan pada siapapun.
"Aku menyayanginya.. Tapi jika boleh jujur, aku juga membencinya.."
■
Lisa menatap kumparan awan yang sangat indah dari kaca jendela pesawat. Fikirannya melayang pada kejadian beberapa jam yang lalu. Kejadian saat dirinya masih di Korea.
Beberapa jam yang lalu...
Di hadapan Lisa sudah ada batu nisan ibunya. Ini adalah kali pertama ia mengunjungi makam Hyekyo. Hari-hari sebelumnya, makam ibunya sangat rutin dikunjungi oleh keluarganya. Baik kakak-kakaknya maupun ayahnya. Tentu Lisa menghindari hal itu. Ia tidak ingin kemunculannya malah menambah rasa sakit keluarganya.
"Mianhae, eomma. Aku baru sempat datang.", sebuah bingkai bunga tulip Lisa letakkan di atas makam ibunya. Kini dirinya berjongkok di sebelah batu nisan Hyekyo. Sebisa mungkin ia menahan air matanya agar tidak jatuh. Ia ingin menunjukkan pada ibunya, jika ia adalah gadis yang kuat.
"Eomma, aku tau.. Ini semua salahku..", air mata yang Lisa tahan-tahan lolos begitu saja. Kejadian itu masih sangat jelas dikepala Lisa. Bagaimana ia menembakkan peluru pada tubuh ibunya. Bagaimana darah mulai menyucur dari tubuh ibunya. Semua masih terekam jelas dalam kepalanya. Menyisahkan trauma mendalam yang sebisa mungkin ia atasi sendiri.
"Aku berjanji akan membalaskan dendammu.", tatapan Lisa kini menajam tatkala wajah pembunuh ibunya terlintas dalam kepalanya. Ingin rasanya ia mencabik-cabik wajah itu saat ini juga. Namun ia berusaha meredam emosinya. Ini bukanlah waktu yang pas untuk menyalurkan emosi pribadinya.
"Kau tidak sendirian..", ucap seorang wanita yang tiba-tiba muncul disampingnya sembari menyodorkan sekaleng soda.
"Minyoung unnie?", tanya Lisa berusaha memastikan. Wanita itu tidak menjawab pertanyaan Lisa dan memilih menatap makam Hyekyo dihadapannya.
"Aku tau ini berat bagimu.", ucap Minyoung sembari menepuk pundak Lisa. Berusaha menyalurkan kekuatan yang sebenarnya tidak berefek apapun bagi gadis bermata hazel itu.
"Tapi ingatlah, setiap keputusan menghasilkan pengorbanan.", ucap Minyoung yang sontak menjadi tanda tanya besar bagi Lisa. Apa yang sedang Minyoung bicarakan?
"Apa maksudmu, unnie?", tanya Lisa yang dibalas senyuman oleh wanita itu.
"Aku tau semuanya Lisa-ya. Kau tidak perlu khawatir, aku akan merahasiakannya.", ucap Minyoung yang mampu membuat Lisa membeku di tempatnya. Tak ia sangka wanita itu mengetahui hal yang selama ini ia sembunyikan dari keluarganya.
"Ini adalah nomor teleponku. Aku akan menetap di Italia, jadi kau bisa menghubungiku jika terjadi sesuatu."
■
"Dimana anak itu?", gumam Jisoo yang sedari tadi sibuk mondar-mandir di kamarnya. Sungguh Jisoo diselimuti rasa panik tatkala ia terbangun tanpa Lisa disampingnya. Adiknya bersikap aneh kemarin, dan itu menambah rasa khawatirnya. Bahkan ia sudah mengutus bawahan ayahnya untuk mencari keberadaan adik bungsunya, namun tak ada kabar hingga saat ini.
"Apa yang sedang kau lakukan, unnie?", tanya Rosè yang entah sejak kapan sudah memasuki kamar kakak sulungnya. Gadis blonde itu heran, sebenarnya apa yang sedang difikirkan Jisoo. Kenapa Jisoo terlihat sangat panik saat ini.
"Adikmu pergi lagi.", Rosè memilih diam dan tak menanggapi kalimat kakaknya. Membiarkan kakaknya kalut dalam fikirannya sendiri.
"Kenapa kau sepanik itu?", tanya Rosè santai sembari merebahkan punggungnya.
"Adikmu pergi, Chaeyoung-ah. Apa kau tidak khawatir sama sekali?", tanya Jisoo frustasi melihat tingkah adiknya yang seolah tidak terjadi apa-apa.
"Ayolah, unnie. Jangan melebih-lebihkan. Dia bukan anak kecil lagi.", jawab Rosè sembari memainkan ponselnya.
"Firasatku tidak enak..", terdengar rasa khawatir yang mendalam dari setiap kata yang dilontarkan Jisoo.
"Jangan berlebihan. Adik kesayanganmu itu tidak akan hilang dalam sekejap.", ucap Rosè yang langsung bangkit dan bergegas meninggalkan kamar kakaknya.
"Kenapa anak itu mendekapku seperti itu adalah pelukan terakhirnya..", gumam Jisoo yang hanya dapat didengar oleh dirinya sendiri.
Note
Selamat membaca gais. Kenapa yah sepi banget? ayow dong ramein komen sm votenya. papai 🫶🫶🫶
KAMU SEDANG MEMBACA
Home?
FanfictionKim Lisa, perempuan berdarah bangsawan yang terpaksa kehilangan segalanya karena bakat yang ia miliki. Demi melindungi keluarganya, Lisa tumbuh menjadi manusia berhati dingin. Lisa rela melakukan apapun untuk mencapai tujuannya, bahkan dengan tumpah...