46

1.9K 176 2
                                    

Setelah kembali pada keluarganya, Rosè tidak langsung menurunkan Lisa. Ia terdiam sejenak ditempatnya sembari menarik nafasnya dalam-dalam. Untungnya gelap menemani mereka hingga air mata Rosè tak terlihat jelas.

"Aku ingin pulang," ucap Rosè membuat seisi keluarganya merasa bingung.  Padahal sebelum pergi ke toilet, gadis itu sempat mengatakan jika tidak ingin pulang.

"Wae?" tanya Jisoo penasaran. Sebenarnya Lisa juga penasaran dengan perubahan sikap Rosè. Apakah ini karenanya?

"Aku tidak enak badan. Lagipula semakin malam semakin dingin," jawab Rosè yang langsung mendapat anggukan dari Gongyo.

"Arasseo, mari kita pulang," saut Gongyo sembari bangkit dari tempatnya. Namun beberapa detik kemudian, Gongyo berjongkok dihadapan Rosè.

"Biar appa yang menggendong adikmu," ucap Gongyo yang sempat mendapat penolakan dari Rosè. Namun Gongyo terus mendesak gadis blonde itu hingga setuju. Sedangkan Lisa hanya bisa pasrah. Pasalnya tubuhnya sangat enggan untuk diajak kerja sama saat ini.

Kini jennie menghampiri Rosè yang terlihat sedikit linglung. Memberikan jarak pada keluarganya sehingga menyisahkan mereka berdua, "Apa yang terjadi?"

Jennie menyadari keinginan Rosè pasti bukan tanpa alasan. Pertanyaan dari Jennie mampu membuat isak tangis Rosè pecah.

"Unnie..." dengan hangat Jennie mendekap tubuh Rosè yang tengah terisak hebat.

"Dia muntah darah..."

Jennie dan Rosè datang terlambat 15 menit ke mobil. Namun tak ada yang menghiraukannya karena sudah terlanjur diselimuti oleh rasa lelah. Jennie memilih untuk duduk disamping Lisa yang tengah memejamkan matanya.

Setelah memastikan semua anggota keluarganya masuk, mobil mulai melaju. Seisi mobil tertidur, kecuali Rosè dan Jennie yang masih dihantui oleh bayang-bayang Lisa.

Jennie kini menggenggam tangan Lisa. Gadis itu cukup terkejut tatkala merasakan suhu gadis itu yang sangat tinggi. Dengan cekatan ia langsung mengambil termometer untuk mengecek suhu Lisa melalui dahi gadis itu. 40 merupakan angka yang muncul dari termometer Jennie. Gadis itu seketika diselimuti rasa panik.

"Ada apa, unnie?" tanya Rosè yang ikut merasa panik.

"Suhu Lisa sangat tinggi. Jika dibiarkan, dia bisa kejang,"  jawab Jennie sembari menggeledah tasnya untuk mencari obat yang ia bawa. Sialnya jarak rumah sakit dan pantai lumayan jauh. Mau tidak mau pertolongan pertama harus dilakukan.

"Lisa-ya," panggil Jennie lembut sembari mengusap pipi adiknya. Lisa membuka matanya sedikit untuk menanggapi Jennie.

"Minum obat dulu, ne?" ucap Jennie sembari menyodorkan 3 butir pil untuk Lisa telan. Dengan sisa tenaganya, Lisa berusaha mengambil pil itu dari Jennie. Isak tangis Jennie pecah tatkala tangan Lisa bergetar hebat tatkala berusaha mengambil pil itu dari Jennie. Bahkan untuk sekedar menggerakan tangannya saja sulit bagi adiknya.

"Biar aku saja," ucap Jennie sembari membantu memasukkan pil itu dimulut adiknya. Setelah memastikan 3 butir pil itu tertelan, Jennie beralih menyelimuti adiknya. Mendekap tubuh adiknya yang kini terbalut oleh selimut. Bahkan Jennie bisa merasakan jika tubuh adiknya tengah bergetar.

"Gwenchana, unnie disini. Kau akan baik-baik saja," bisik Jennie dengan suara bergetar. Rosè yang daritadi menyaksikan hanya bisa membekap mulutnya agar isak tangisnya tidak terdengar.

Sesampainya di rumah sakit, seisi keluarga Kim dibuat panik dengan kondisi Lisa yang drop. Untungnya Jennie sempat memberi pertolongan pertama hingga kondisi Lisa sedikit lebih baik.

"Bagaimana kondisi putriku?" tanya Gongyo yang langsung menyodorkan pertanyaan pada Dokter Kang yang baru saja keluar dari ICU.

"Untuk saat ini, semua masih bisa dikendalikan. Tapi ada sesuatu yang ingin kusampaikan padamu dan Jennie. Tolong datang ke ruanganku," ucap Dokter Kang yang langsung pergi meninggalkan Gongyo. Jisoo dan Rosè kini tak henti-hentinya merapalkan beribu syukur karena Tuhan masih memberi adik bungsunya kesempatan. Berbeda dengan Jennie yang masih terdiam sembari menatap ayahnya dengan tatapan yang tak bisa diartikan.

"Tolong temani adik kalian jika sudah dipindahkan ke ruang inap. Appa dan Jennie akan pergi ke ruangan Dokter Kang terlebih dahulu," ucap Gongyo yang langsung mendapat anggukan dari Jisoo dan Rosè. Jennie pun membuntuti langkah ayahnya dari belakang.

Sesampainya di ruangan Dokter Kang, mereka berduapun duduk dihadapan dokter itu seperti biasanya, "Ada berita buruk."

"Tes biopsi yang dilakukan beberapa hari yang lalu sudah keluar," Jennie dan Gongyo memilih diam dan menyimak penjelasan dari dokter itu sampai akhir. Walaupun jantung mereka sudah berdetak tak karuan.

"Tumornya.. Sudah mengalami kenaikan stadium.." tubuh Jennie seketika melemas. Gadis itu langsung pingsan dalam sekejap. Untungnya Gongyo sigap menangkap tubuh putrinya. Para perawatpun langsung berdatangan untuk membantu Jennie. Sedangkan Gongyo memutuskan untuk mendengar penjelasan Dokter Kang hingga akhir.

"Mengapa perkembangan tumornya begitu cepat?!" tanya Gongyo dengan suara bergetar. Dokter Kang menghembuskan nafasnya berat sebelum melanjutkan kalimatnya.

"Aku juga tidak menyangka akan secepat ini. Namun semua masuk akal, pasalnya kita belum melakukan upaya apapun dalam menangani tumor ini," ucap Dokter Kang membuat tubuh Gongyo rasanya ingin ambruk saat ini juga.

"Lalu apa yang harus kita lakukan..." ucap Gongyo terdengar putus asa. Jika bisa, ia akan menukar semua hartanya asalkan putri bungsunya kembali seperti semula.

"Sementara kita akan melakukan kemoterapi. Tapi sebenarnya, aku memikirkan satu cara..".Gongyo menatap Dokter Kang penuh harap. Dokter itu kini melepas kacamatanya dan menatap pria paruh baya dihadapannya serius.

"Operasi pengangkatan tumor," Dokter Kang kini meletakkan tangannya diatas meja sembari menunggu jawaban Gongyo.

"Lakukan apapun untuk putriku. Berapapun biayanya aku tidak peduli," bahkan jika operasi itu harus menghabiskan seluruh hartanya, Gongyo rela. Jika itu semua demi kesembuhan putrinya.

"Bukan masalah dana, Tuan," Dokter Kang kini menarik nafasnya dalam-dalam sebelum melanjutkan kalimatnya.

"Saya rasa, hanya satu dokter yang bisa menyanggupi operasi ini."

"Siapa dokter itu? Akan kukerahkan semua relasiku untuk membuatnya mengoperasi putriku," saut Gongyo yang sangat yakin dengan kalimatnya.

Dokter Kang tersenyum singkat mendengar kalimat Gongyo, "Dokter itu putrimu sendiri, Tuan."

Gongyo menegang. Tak terbesit dalam kepalanya bahwa kalimat itu yang akan keluar dari mulut Dokter Kang. Ini adalah masalah yang tak bisa diselesaikan dengan uang dan kekuasaan. Gongyo mengenali putri-putrinya dengan baik. Termasuk putri keduanya. Bahkan hanya untuk sekedar menghadapi adiknya yang dalam kondisi kritis saja Jennie tak kuasa, apalagi operasi.

"Dia sudah hampir melakukannya terakhir kali," ucap Dokter Kang yang sontak mengundang atensi Gongyo.

"Tapi ia jatuh pingsan saat mengetahui siapa yang akan ia operasi."

Note
Kayaknya sekian dulu deh spamnya. Doain ya besok mood buat update lagi. see u tomorrow or two weeks later..

Home?Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang