Bagian 12

2.7K 49 3
                                    

Kepalan tangannya meremas permukaan sprei itu kuat-kuat. Bulir keringat sebesar biji jagung mengucur deras di pelipis, menandakan rasa nyeri itu kian mendera perutnya. Pinggang, punggung serta perut bagian bawah sakit semua.

Sungguh ini sangat menyiksa. Penyakit rutin bulanannya memang acapkali menyusahkan padahal sudah sering dia menuruti anjuran Miranda untuk minum jamu-jamuan tapi tetap saja gelenyar panas membalut seluruh persendiannya.

Arana sampai berguling ke kanan lalu kiri. Kepalanya sesekali tenggelam di bantal. Cewek rumahan itu sangat ingin berteriak sekarang tapi kedap suara yang terpasang di langit-langit kamar tak membiarkan raungannya keluar.

Saking kesalnya Arana sempat memukul perutnya agak kuat. Kebodohan pertama yang dia lakukan di bulan ini. Tubuh mungil tapi tinggi tersebut kini meringkuk seperti janin yang tengah bersemayam di kandungan si ibu.

"S-sakit ...." Racauan kesakitan Arana untuk kesekian kalinya mengudara. Tangan kirinya membabi buta memukul permukaan ranjang yang kosong.

Sekujur kakinya melemas. Kepalanya pening bukan main. Mau keluar kemudian meminta tolong seseorang, tubuhnya tak sanggup meniti jalan, sementara di luar sana Miranda kelihatan larut akan kegiatannya menata bunga.

Kalian bisa menerka-nerka, pasti wanita paruh baya tersebut tidak tahu kondisi anaknya. Arana yang terlanjur mandiri kadang menyulitkan Miranda.

Pernah dulu ketika Arana pingsan di kamar tidak satu pun penghuni rumah tahu bagaimana keadaan si Nona muda. Bisa dibilang Arana selalu melakukan apa-apa sendiri. Dia jarang mengeluh apalagi bersikap manja serupa gadis kaya di luar sana. 

Ketika hendak meraih gelas di nakas, suara pecahan kaca menceloskan jantung gadis yang sedang terbaring lemah itu. Belum selesai berurusan dengan rasa sakit ini, satu masalah menghampiri Arana. Pasti di bawah sana puluhan beling telah berhamburan.

Tidak mungkin kan dia membiarkan kamarnya berantakan seumpama kapal pecah begini? Orang lain pasti mengira kamarnya sedang kerampokan jika kekacauan tersebut tidak cepat-cepat rana bereskan.

"Ayo, Ran. Kamu pasti bisa," sugesti Arana mencoba bangkit dari tidur meski rasa panas dan nyeri mendominasi jadi satu. Akibat tamu bulanannya ini Arana tidak nafsu makan. Dia memilih tidur lantas melewatkan makan siang.

Semua yang berada di sekitar Arana berputar tidak tentu arah ketika dia berhasil bangkit. Suhu badannya meningkat drastis. Mungkin sebentar lagi demam tinggi meruntuhkan imunitasnya.

"Jangan manja, Ran. Buruan keluar terus minta tolong sama Ibu buat dibeliin obat," lirih Arana menyemangati dirinya. Yups, didikan Setya selalu menuntut Arana untuk kuat. Dia tidak boleh lemah. Masa cuma karena sakit begini dia berubah jadi gadis manja.

Perlahan-lahan sepasang kaki telanjang itu mencapai ambang pintu. Knop pintu segera Arana putar tatkala sukses mempertahankan bobot tubuhnya agar tidak ambruk ke lantai.

Saking lelahnya intesitas kelenjar keringat dalam lapisan epidermis makin kuat memproduksi cairan. Beruntung baju tidur pendek yang kali ini dia pakai. Jadi, udara panas tidak terperangkan kemudian menggantikan suhu dingin yang AC hasilkan.

Di lorong lantai dua jelas tidak ada siapa-siapa. Selasar di bagian atas cuma ditempati oleh nona serta tuan muda mereka, sementara kamar pembantu berada di lantai satu, dekat dengan pintu belakang serta dapur.

Remaja tujuh belas tahu ini masih tertahan di depan pintu. Sebenarnya dia ingin memastikan keadaan sekitar jika ada orang yang lewat maka dia akan minta bantuan orang tersebut.

Mau keras kepala dan sok-sok-an turun yang ada sebelum menginjakan kaki di lantai bawah, kecelakaan kecil bisa mencederai salah satu anggota tubuhnya. Di kondisi sakit begini tidak ada seorang pun yang mau ambil resiko. Nyawalah yang jadi taruhan bila nekad.

Namun, usut punya usut dari depan kamar hingga ujung lorong sana masih tidak Arana dapati siluet manusia. Situasi di sini terlalu tenang. Mau tidak mau dia melongokan kepala ke bawah, mencari keberadaan Miranda.

Seingatnya tadi sang ibu berencana menata rumah bersama bunga-bunga hidup yang bakal mempersegar suasana hunian mereka.

Dan betul saja, kedua perempuan berstatus nyonya serta pembantu itu sibuk memilah milih mana bunga yang cocok mengisi ruang tamu.

Arana tentu tidak mendengar percakapan mereka dan bisa saja dia berteriak dari atas sini akan tetapi kondisi badannya tidak sanggup melakukan hal tersebut.

Arana menuntun kakinya mendekati tangga. Setibanya, di anak tangga terakhir manik keduanya saling bersinggungan.

Miranda sempat tersenyum sejenak akan tetapi senyum tersebut memudar sesaat setelah pandangan Arana mulai menggelap.

****

Holla! Aku update lagi. Jangan lupa tinggalkan jejak ya. Btw, di karyakarsa udah nyampai bagian 25 lho. Yakin gak mau baca?😅 Tenang, ada vocer diskon juga.

Brother Or Lovers [21+]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang