Prolog

14.2K 204 2
                                    

Tungkai kaki itu kian menendang-nendang udara, mendorong sebuah kekuatan yang sedari tadi membelenggu pergelangan kakinya untuk bergerak bebas. Usahanya itu berlangsung selama limabelas menit. Namun, sepasang lengan kekar tersebut bersikeras enggan melepas.

Malah yang lebih parah, dua buah borgol lantas pria itu genggam erat seraya mendekatkannya ke kaki mulus yang tiada henti memberontak kasar. Dan saat semua berada tepat diposisinya, suara klik pun terdengar, menandakan kaki gadis itu telah terkekang sempurna.

Rontaannya sontak makin menggarang. Meraung sekuat-kuatnya berharap seseorang dapat menolong, akan tetapi kebisuan sekitar jelas membungkam ketidakberdayaannya sebagai perempuan. Perempuan yang harusnya dilindungi juga dihormati. Makhluk paling lembut dan rapuh yang tuhan ciptakan.

Sekarang jangan harap bisa lari, memberontak kecil seperti tadi pun dia tidak mampu. Dirinya serupa hewan peliharaan yang diperlakukan tidak manusiawi oleh pria bajingan ini.

"Lepas! Kakak pikir Kakak itu siapa? Aku manusia bukan hewan peliharaan!" Raungan setannya mengudara kemana-mana kentara geram lantaran diborgol bagai narapidana bersalah.

"Gak ada yang menyebut kamu hewan, tapi kalau kamu merasa seperti itu lalu Kakak bisa apa?" Seringai bengis tersebut terbit, menguarkan aura mengintimidasi terhadap lawan bicaranya.

"Kalau aku memang bukan hewan peliharaan tolong lepasin borgolnya. Aku bukan kriminal yang harus dipasung," seru gadis itu seolah tengah bernegosiasi. Dia tidak dungu hingga mau-mau saja menerima semua tindakan gila orang lain.

Nando melirik Arana sekilas, menatap wajah memelas yang selalu nampak ayu tersebut. Tetapi, pergerakan matanya segera teralih, seakan-akan tidak terpengaruh kala dua kalimat negosiasi itu adiknya suarakan. Dia mengulum senyum kembali melanjutkan aksi gilanya.

Tidak puas mengurung kaki Arana, pria yang mengenakan kaos oblong biru laut serta celana pendeknya itu secepat kilat menjulurkan tangan ke laci nakas, mengambil sesuatu di dalam sana tanpa rasa ragu sedikit pun. Arana yang menyaksikan dengan seksama spontan membulatkan mata. Sungguh dia kaget bukan main. Sekarang apalagi yang akan Kakak sintingnya ini perbuat?

"Kakak mau apa?" Arana berucap setengah membentak. Dia masih berontak meski pergerakannya terbatas.

Semua pun terjawab kala pria duapuluh delapan tahun tersebut mendekati kepala ranjang, menarik tangannya agar mendekat, menyatukan borgol yang terlepas dari kunciannya, otomatis suara yang sama mulai terdengar sekali lagi. Arana membeku di tempat. Tangan kanannya diborgol.

Kedua pergelangan tangannya bahkan sudah memerah. Perih terasa membalut. Ini sangat menyakitkan. Tidak cuma fisik melainkan batin.

Air matanya menitik perlahan. "Kak, berhenti. Ini sakit ...."

Nando mendekati sang adik, mengusap air mata yang meluncur ke pipi. "Jangan nangis. Ini gak seberapa dibanding kebodohan yang kamu lakukan waktu itu."

Arana diam. Sebisa mungkin menepis tangan sialan yang membelai pipinya. Begitu muak mendengar setiap kata yang meluncur dari lidah Nando. "Kakak terlalu santai sama kamu selama ini. Padahal, kamu sendiri tahu itu salah dan kamu masih mengumpankan diri? Persetan dengan rasa kasihan, sekarang Kakak benar-benar ingin memberi kamu pelajaran Arana."

Sontak pandangan Arana menggelap tatkala kain hitam itu diikatkan ke matanya. Tangan yang terborgol tak dapat berbuat apa-apa. Bulir air terus menerus menetes, menjelaskan betapa frustasinya dia. Arana makin takut. Takut sesuatu yang tidak diinginkan terjadi. Lebih-lebih posisi mereka yang begitu riskan. Berduaan di dalam kamar tentu mengundang setan untuk menggoda.

Suara kasak-kusuk ranjang yang dinaiki kian menambah kegundahan perempuan berambut sepunggung itu. Tubuh Arana bergetar hebat. Satu lumatan penuh gairah hadir sudah cukup menjelaskan apa yang tengah Kakaknya lakukan. Daging kenyal itu bergerak aktif, menjamaah bibir bawah Arana tanpa keraguan. Ciuman yang sangat menuntut dan dipenuhi nafsu.

Tanpa tahu malu, Nando memejamkan kelopak matanya, menikmati tiap-tiap jengkal keintiman yang dia ciptakan bersama sang gadis. Nando bahkan mendengar kata 'keterlaluan' yang terucap lirih di bibir Arana saat dia menjeda aksi ciuman mendalam tersebut.

Arana jijik dengan keadaan ini. Ingin sekali dia menampar pria tak bermoral itu, menyadarkannya bahwa apa yang sedang mereka lakukan salah. Tapi, apa mau dikata, kedua kaki serta tangannya terkekang oleh benda sialan bernama borgol. Dia tidak bisa berkutik meski dilecehkan sedemikian rupa.

Merasa dilecehkan, pergerakan Arana yang seakan hendak menendang alat vitalnya membuat Nando tergelak penuh makna. Jangankan menendang, memeluk leher jenjangnya saja gadis itu tidak bisa.

Nando yang berada di atas tubuh cewek remaja itu tersenyum lebar menikmati pahatan wajah yang begitu sempurna tuhan hadiahkan. Sesuatu di bawah sana makin mengeras, pertanda insting kelelakiannya muncul tak diminta.

"Kakak suka gadis penurut karena patuhnya seseorang itu emas." Dia meniup sensual cuping telinga yang tampak memerah itu, lalu melanjutkan kalimatnya, "Jangan takut, Kakak tidak akan menyakiti kamu," bisik Nando pada akhirnya sebelum mengakhiri rangsangan tersebut.

Sapuan lidah Nando di sepanjang garis rahang hingga belahan dada Arana menjadi pembuka hidangan utama pria bajingan yang sayangnya berstatus sebagai Kakaknya. Ini gila. Dia bahkan diperkosa oleh Kakaknya bukan orang lain.

Nando tiada henti membaui aroma memabukkan yang dihasilkan parfum mahal milik Arana. Dia ingat parfum inilah yang jadi kado pertama adiknya saat berulang tahun ke tujuhbelas. Endusan Nando sudah seperti anjing pelacak yang sedang mengintai sebuah barang bukti. Sesekali kepalanya pun mendusel-dusel leher jenjang si gadis.

Arana bukannya tidak menghindar, seluruh anggota badannya sudah lelah berkoordinasi satu sama lain. Memalingkan wajah, membendung berbagai serangan yang Nando tujukan. Walau menolak secara terang-terangan, respon tubuhnya tidak bisa dibohongi. Lenguhan kecil melesat keluar, terdengar begitu merdu di telinga seseorang.

Pria dengan tulang pipi tegas tersebut mulai memundurkan badan, menunduk tepat di hadapan kaki Arana, menciumi sekujur indera gerak sang gadis penuh nafsu. Tangannya tak luput membelai paha Arana hingga perempuan itu menggelinjang. Darah Arana berdesir hebat. Aliran listrik bertegangan tinggi seakan mengaliri seluruh sarafnya.

Dalam sepuluh detik, Nando pun menghentikan tingkah gilanya. Masih sempat-sempatnya pemuda itu tersenyum di balik sensasi aneh yang baru pertama kali gadis remaja rasakan. Tanpa gadis muda ini sadari itulah awal dari kehancurannya.

Libido yang meningkat drastis menyebabkan Nando tidak sabar untuk meraih ujung dres yang adiknya kenakan. Dengan sekali tarik, dres itu pun koyak, menampilkan tubuh polos seorang gadis yang cuma dibalut bra serta kain segitiga di bawah sana.

Arnando Delicio menyeringai buas. Aksi sesungguhnya pun dimulai. Dia menggosok-gosok labia minora gadis itu, lekas memposisikan senjata yang telah mengacung tegak di antara lipatan paha indah tersebut.

Ketika cairan bening nan kental berhasil keluar, tanpa meminta persetujuan Arana dia pun mendorong benda panjang itu menembus liang kenikmatan yang Arana jaga selama tujuhbelas tahun hidup.

Percintaan panas pun Nando lakukan sedikit kasar. Di saat itulah secuil rasa sakit serta teriakan keras seorang perempuan menggema di seluruh penjuru ruangan.

****

Holla! Terimakasih sudah mampir dan membaca Brother Or Lovers. Jangam lupa vote, komen dan tambahkan Brother Or Lovers ke perpustakaan kalian.

Kalau suka cerita ini yuk bantu share ke teman kamu. Aku update setiap hari ya!

Brother Or Lovers [21+]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang