Arana meniti langkahnya pelan. Sepasang kaki jenjang tersebut mengayun serentak menyusuri tiap jengkal dari halaman luas ini sebelum mencapai pintu besar di depan sana.
Lamunan remaja tujuh belas tahun itu masih berlanjut sampai sekarang. Ketidakfokusannya bertakhta di urutan pertama.
Dia sendiri bingung akan cara kerja otaknya yang terlampau unik. Terlalu berlebihan memikirkan sesuatu yang belum tentu terjadi.
Logikanya berpikir untuk tidak memikirkan perilaku Nando yang sedikit aneh, tapi hati kecilnya justru menafsirkan berbagai asumsi negatif. Arana membuang napasnya kasar.
Kepalanya mendongak ke atas, menatap satu kamar berbalkon sedang dengan pandangan yang sulit diartikan.
Sekian detik melebur bersama pikiran negatif tersebut, kesadaran Arana kontan mencuat ke permukaan.
Arana secepat kilat memindahkan tatapannya ke sembarang arah. Mata seindah kelopak mawar tersebut memejam selama dua detik menetralkan perasaan berkecamuk yang sedikit merengkuh kewarasannya.
Praktis Arana mengatur kecepatan langkahnya. Kembali dia menyambung langkah yang sempat terhenti. Tidak baik berlama-lama di luar.
Apalagi Arana baru sembuh dari sakit. Suhu panas di Pekanbaru sekarang tepat menyentuh angka empat puluh derajat celcius.
"Udah pulang, Nak?" Baru tiba lima detik yang lalu suara lembut nan mendayu-dayu itu merangsek pendengaran Arana.
Tepat di tangga paling atas seorang wanita yang mengenakan blouse maroon mahalnya berdiri anggun menatap sang putri yang baru saja kembali dari sekolah. "Ibu pikir kamu bakal telat pulang hari ini karena ada ekskul."
"Ekskulnya ditiadakan hari ini, Bu. Pembinanya ada urusan mendadak di luar," jawab Arana tak kalah lembutnya. "Aku pikir gak ada orang di rumah jadinya Pak Lontara yang jemput."
Miranda merekahkan senyumnya. Sudah pasti putri bungsunya ini terlanjur nyaman di antar jemput sang kakak bagai suami siaga.
"Ibu gak jadi keluar. Ayah kamu yang gantiin, Nak. Kalau Nando lagi sibuk ngawasi pembibitan sawit di perkebunan," jelas mantan janda berumur lima puluh lima tahun itu memperpanjang jawabannya.
Arana sebisa mungkin menutupi ketidaknyamanannya ketika Miranda menyerukan nama sang kakak.
"Iya, Bu. Arana juga gak mau terlalu ngerepotin Kak Nando. Pasti di perkebunan lagi sibuk-sibuknya."
Satu demi satu undakan tangga yang membentangkan jarak antara ibu dan anak itu sengaja Miranda perkecil dengan melangkah turun. Dia mengelus rambut Arana penuh sayang.
"Gak ada yang merasa direpotkan, sayang. Kakak kamu seneng kok antar jemput kamu. Dia sendiri yang bilang ke ibu. Lagipula, keamanan dan kenyamanan kamu sekarang udah jadi tanggung jawab dia sebagai kakak."
Teramat lincah bibir Miranda mengatakan kalimat demi kalimat tanpa tahu fakta yang terjadi.
Tanggung jawab atas kenyamanan dan keamanannya? Hufft, entah mengapa Arana berpikir Nandolah yang mesti dia waspadai.
Tadi pagi saja pria dua puluh sembilan tahun tersebut berani mencium puncak kepalanya selayaknya suami yang mengantarkan istri tercinta bertandang ke rumah orang tuanya.
Namun, tetap saja Arana tidak mampu membeberkan sedikit informasi itu. Dia enggan berprasangka buruk terlebih dulu apalagi dengan kakak tiri yang begitu peduli sejak kedatangan Arana sepuluh tahun lalu.
"Iya, Bu." Hanya itu jawaban Arana.
"Yaudah, kamu pasti capek kan, sebaiknya langsung ke atas aja bersih-bersih. Biar Bu Siti yang nyiapin makan siang kamu. Jangan lupa turun lho. Gak baik tidur selagi perut kosong, Nak," titah Miranda mendorong pelan lengan Arana.
Senyum selebar daun kelor ibu sambungnya terbitkan. Rasa sayang Miranda jelas makin bertambah melihat gadis itu. Siapa yang tidak menyukai anak cantik ini? Dia manis, sangat penurut dan selalu jadi kebanggaan keluarga.
Prestasi Arana sedari SD memang mengesankan. Begitu juga saat anak kandung Setya--suaminya ini---menduduki bangku sekolah menengah atas.
Wanita setengah baya itu juga bangga terhadap dirinya karena setelah menikahi Setya, Mirandalah yang mengurus Arana. Mulai dari keperluannya sampai menjadi teman curhat remaja SMA itu. Waktu benar-benar cepat berlalu.
Gadis kecil yang sepuluh tahun lalu dia lihat mengenggam tangan sang ayah masuk ke pintu ini sekarang telah tumbuh dewasa. Sangat cantik dan mampu menggetarkan iman para pemuda di luar sana. Walaupun begitu Miranda berjanji tidak akan memberi restunya dengan mudah jika ada pria yang hendak mempersunting sang putri.
Akan dia uji pria tersebut mati-matian sampai layak menjadi pendamping Arana. Cita-cita lama yang Miranda pendam. Kini dia harus mengurus putra nakalnya itu. Sebelum menguji pasangan Arana, akan wanita setengah baya ini temukan calon istri potensial untuk Arnando.
Hingga malam tiba---gadis cantik berpiyama bunga-bunga sakura tersebut masih merebahkan badannya di ranjang. Dia lupa turun ke bawah untuk makan siang. Letih yang mendera sanggup mengantarkan Arana ke alam mimpi. Putri sematawayang Setya ini baru terbangun tatkala jam dinding menunjukkan angka tujuh. Tentu langit telah menggelap sepenuhnya.
Arana cuma bisa mendesah kecil kemudian turun dari ranjang. Pasti seisi rumah tengah menunggu presensinya di meja makan. Dan benar saja semua orang sudah menunggu di meja makan. Kepala Arana yang ikut melongok ke bawah dapat dengan jelas menyadari tatapan mendalam itu. Salivanya kian tertenggak kasar. Entah mengapa perasaan tidak nyaman kembali melingkupi.
****
Jangan lupa pencet votenya ya biar aku makin semangat nulisnya.
Kalau suka cerita ini yuk share ke teman kamu. Biar makin banyak yang baca Brother Or Lovers.
Oh ya, aku udah update Brother Or Lovers di Karyakarsa ya. Udah nyampai Bagian 7 dan 8. Monggo yang mau melipir ke sana duluan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Brother Or Lovers [21+]
Teen FictionDisakiti secara mental nyatanya jauh lebih mengenaskan daripada dilukai secara fisik. Namun, apa bedanya jika Arnando Delicio melakukan keduanya pada Arana. Dia menyakiti gadis itu, membuat mental sang adik jatuh-sejatuh-jatuhnya hanya karena satu k...