Bagian 16

2.4K 37 5
                                    

Hempasan kepala Grizzel ke permukaan meja besi menjelaskan betapa frustasinya dia sekarang. Bibirnya sibuk berkomat-kamit, mendumelkan sesuatu. Kelima jarinya sampai mengatup, mengetuk-ngetuk permukaan meja dengan tempo yang konstan.

Kepalanya seolah-olah berasap. Atmosfer kelas yang tenang, menambah tingkat stres yang dia alami. Bagaimana tidak frustasi jika penghuni kelas ini kelihatan adem ayem meski diserang matematika dan kimia secara beruntun.

Pantas saja kepalanya mau meledak. Dia benci situasi ini. Geram terhadap hari kamis yang acapkali memperuwet akal pikirannya. Dengan tangis dibuat-buat, gadis berdarah Tionghoa itu mulai melancarkan aksi cari perhatiannya.

Grizzel ingin satu kelas kompak meminta Bu Deby memindahkan mata pelajaran yang dia ajarkan ke hari sebelumnya. Sumpah demi apa pun Grizzel tidak sanggup bila jadwal serupa terus berlanjut hingga kenaikan kelas nanti.

"Huwaa ... Gue gak tahan lagi pengen resign aja dari kelas ini. Gak ada satu pun yang bisa diajak kerjasama." Tangisan Grizzel akhirnya pecah, berusaha menarik perhatian seisi kelas agar prihatin atas penderitaannya.

Dia nyaris meraung jika saja tidak peduli sekelas sebelah sedang melaksanakan ulangan.

Namun, bukannya peduli makhluk-makhluk berkacamata tebal itu justru cenderung abai. Mereka lebih memperhatikan kertas coretan soalnya. Terlebih dengan tenang makhluk ambis seperti mereka menyempatkan waktunya guna berdiskusi kecil kemudian tenggelam bersama lautan rumus yang membutakan.

Arana yang mendengar cuitan Grizzel meringis sendiri. Dia mengusap-ngusap pundak sang teman agar tidak kelewat nelangsa. Mendapat sambutan perhatian dari bidadari khayangan, tangis cewek bermata sipit ini makin menjadi. Tatapannya seolah meminta dukungan Arana supaya menyakinkan yang lain untuk pindah mata pelajaran.

"Huhu, gue pengen ngelapor ke bapak menteri pendidikan kalau kelas sebelas Ipa dua ini gak berperikesiswaan," ujar Grizzel makin mengada-ngada. Arana yang terus menerus disesaki oleh keluhan sang teman cuma bisa menghelas napas pasrah. Toh, percuma dia menghentikan yang ada Grizzel kian mendrama nantinya.

Sebagai manusia normal yang tercipta dari tanah, kenyataan kalau dia juga merasa kelelahan tidak dapat dimungkiri apalagi jadwal bimbingannya dari hari ke hari makin padat.

"Ran, aku besok pindah ke kelas si Canoy ya. Kau jangan sampai kecarian aku."

Kedua tangan cewek bermata sipit itu mendarat di bahu Arana, dekapannya bertambah erat seolah tida ada lagi hari esok untuk mengucapkan kalimat perpisahan. Benar-benar over drama, akan tetapi bodohnya Arana tetap mengikuti alur permainan konyol Grizzel.

"Setidaknya, di kelas Canoy suasananya lebih manusiawi," ungkap Grizzel seperti bayi koala. Dada Arana tentu sesak ditimpa beban seberat delapan kilogram. Lima kilogram untuk kepala lalu sisanya lagi sepasang tangan yang betah nangkring di sana.

"Tapi, prosedur pindah kelas itu ribet, Zel. Apalagi banyak materi yang perlu kamu kejar  nanti sebelum UAS meski IPS kelihatannya mudah di sana tetap ada hitung-hitungannya," celetuk Arana panjang lebar terkesan sangat tidak peka sekali.

Grizzel otomatis mengangkat kepalanya. Rambut yang biasa tertata rapi sekarang berantakan tidak keruan. Bibirnya telah melengkung ke bawah agak cemberut mendengar sebaris kenyataan itu.

Delikan sebal Grizzel utarakan. "Ya, setidaknya kalau susah, izinin aku sekali aja gitu liburan pas weekend dan kau harus ikut! Gak boleh nolak!" tegas Grizzel menuntut Arana ikut. Bola mata Arana terbelalak. Permintaan model apa itu? Kok penuh akan pemaksaan.

Untuk kali ini Arana tidak sejalan dengan Grizzel. Tidak mudah baginya meminta izin. Orangtuanya pun telah menyerahkan separuh tanggung jawab terkait Arana secara tidak simbolis. Namun, perasaan tidak enak hati tiba-tiba menyerangnya. Kemarin saja dia tidak jadi ikut keluar bersama Grizzel lalu sekarang bagaimana caranya menolak?

Tidak mungkin kan Arana menceritakan seluruh keanehan Nando kepada Grizzel? Pasti teman sedari SMP-nya ini tidak akan percaya. Grizzel terlalu menganggumi Arnando Delico seakan kakak lelakinya itu tidak punya celah sama sekali.

"Daripada kalian ngeluh-ngeluh gak jelas lebih baik datang ke ulangtahunku nanti sore." Undangan peach mengkilat itu terhempas sempurna ke meja. Grizzel yang tadinya mengeluh lantas melirik kertas yang per tiga detik lalu melayang di depan manik kelabunya.

Kompak keduanya menoleh ke samping. Tampang innocent Sabrina yang tengah menginjak lantai IPA dua sontak menjeda obrolan intens Arana dan Grizzel. Jidat mulus Grizzel sendiri mengerut. Matanya yang sipit makin tidak terlihat kala memandangi sosok tercantik ketiga di Patra Yudha itu.

"Wow," seru Grizzel takjub. "Kebetulan yang membagongkan sekali."

Senyum bahagia Grizzel lengkap terpatri bersama cengiran bodohnya. Kontan dia melirik Arana lekat. Senyum bahagia itu berubah jadi seringai penuh arti.

****

Thanks yang udah mampir ke Brother Or Lovers. Semoga kalian gak pernah bosan baca cerita gajeku ini.

Kalau suka sama cerita ini bantu aku share yuk ke teman kamu biar makin banyak yang baca Brother Or Lovers.

Di karyakarsa purpleflo udah nyampai bagian 28-an lho. Yakin gak mau baca duluan? Harga per babnya murah kok. Cuma 2k aja. Ada potongan diskon juga.













Brother Or Lovers [21+]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang