Bagian 42

1.7K 34 2
                                    

Holla, aku update lagi. Thanks buat yang udah masukan cerita ini ke reading list kalian. I Love you so much ❤❤

***

Terangnya matahari lantas menyebar ke sepenjuru kamar. Pantulan cahaya silaunya jelas menyilaukan mata siapa pun yang berada di sini. Tak terkecuali seorang gadis remaja yang tengah terlelap sangat tenangnya.

Perlahan-lahan cahaya silau tersebut mengusiknya membuat kelopak matanya kontan terbuka sedikit demi sedikit, berusaha menyesuaikan intensitas sinar yang menembus gorden tipis itu.

Dinding berwarna putih tulanglah yang tertangkap pertama kali di iris matanya. Membuat gadis remaja berpiyama biru itu terbangun lalu mengerjap-ngerjapkan matanya.

Sebuah suara yang cukup familiar di ingatan terdengar begitu merdunya. "Ya, Tuhan Nak, untung kamu siuman. Semalaman kamu demam terus jatuh pingsan tadi pagi di lantai kamar mandi," ucap suara lembut itu menyebabkan Arana lekas menoleh.

Dimana dia sekarang? Apakah kakak bejatnya itu sudah membawanya pulang?

Kesadaran Arana pulih seutuhnya tatkala melihat Nando berdiri tidak jauh dari pintu, sementara sang ayah setia menemani Ibunya berdiri di dekat ranjang.

Ketika melirik Nando pun matanya seolah tidak mau beralih. Sirat kebencian masih membekas di mata dan ingatannya. Entah alasan macam apa lagi yang pria tiga puluh tahun tersebut buat agar memanipulasi tingkah tidak bermoralnya.

Saking terpukulnya dia sampai tidak sadar kapan sang kakak tiri memboyongnya pulang. Yang tersisa di kepala Arana adalah saat Nando mengantarkan makanan yang sama sekali tidak tersentuh olehnya.

"Kamu gak papa kan, Nak. Ada yang sakit badannya? Kita ke rumah sakit ya?" Miranda tampak begitu peduli terhadap anak tirinya, tapi apakah perempuan setengah abad itu akan bertingkah sama jika tahu putra tersayangnyalah penyebab semua rasa sakit yang Arana derita.

Jangan tanya kemana kepedulian ayahnya. Mungkin beliau pikir rasa khawatir untuk sang anak sudah diwakilkan oleh istrinya. Namun, yang Arana butuhkan saat ini adalah pelukan ayahnya.

Sungguh dia ketakutan. Sangat ketakutan waktu itu. Jika bisa memutar waktu, Arana tidak ingin Ayahnya menikahi Miranda dan menjadi penghuni rumah mewah ini. Menurutnya semua hanyalah ilusi, terlebih ketika mengingat sikap bejat sang kakak tiri.

Arana otomatis menggeleng keras. Bukan rumah sakitlah yang dapat menyembuhkan luka batinnya.

Sementara Nando menyunginggkan senyum sinisnya, menatap ke arah adik a.k.a gadis kesayangannya kemudian berujar, "Keras kepala."

Sudah lebih dari sepuluh menit kedua orangtua serta kakaknya berada di kamar, akan tetapi tak sekali pun Arana membuka mulutnya. Dia enggan berbicara dengan siapa pun.

Arana langsung berbalik badan setelah memegang kepalanya yang berdenyut. "Aku udah gak papa, Bu. Aku mau istirahat aja."

Gestur membalikan badan yang Arana lakukan sangat jelas menandakan dia sedang tidak ingin diganggu kali ini. Menyadari putrinya terlihat baik-baik saja dan tidak ingin diganggu siapa pun, Setya langsung mengkode istrinya untuk keluar.

"Nanti Bu Siti ke kamar kamu buat bawain sup. Jangan lupa dimakan sebelum minum obat."

Cuma itu pesan terakhir Setya sebelum meninggalkan kamar putri sematawayangnya. Namun, jangan minum obat, menyuapkan nasi ke dalam mulut pun dia tidak bernafsu. Arana justru merapatkan selimutnya, merasa suhu lebih rendah dari biasanya.

Entah keberanian macam apa yang Nando pupuk, pria kurang ajar itu mendekati ranjang Arana padahal kedua orangtuanya baru saja keluar dari kamar ini. Tepat setelah Bu Siti mengantarkan semangkok sup ayam yang masih mengepulkan uap panas.

"Dimakan supnya. Kapan sembuhnya kalau kamu masih ngeyel," tutur Nando menarik nampan kayu tersebut agar mendekat. Dia akan memaksa Arana untuk segala hal jika gadis itu tidak mengindahkan kata-katanya.
"Perhatikan kesehatan kamu. Jangan kekanak-kanakkan lagi."

Nando mendekatkan tubuhnya ke Arana. Kini kedua insan itu berjarak lima jengkal saja. Tentu masih terhalang nampan kayu yang berada di pangkuan Nando.

"Kalau kamu masih keras kepala dan tidak patuh jangan salahkan detik itu juga kakak akan buat kamu menjerit di atas kasur," urai Nando dengan tatapan sensualnya. Tanpa rasa sungkan dia membuka satu demi satu kacing piyama yang Arana kenakan.

***

Yang mau ngehujat Nando waktu dan tempat dipersilakan 😂😋

Brother Or Lovers [21+]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang