Bagian 19

2.1K 44 8
                                    

Arana menepuk-nepuk permukaan sepatunya selepas menyimpul si tali dengan baik. Badan yang sedikit terbungkuk itu menampilkan lekukan indahnya meski tengah berada di posisi demikian. Miranda yang melihat anak gadisnya telah rapi, langsung saja mendekati ayunan.

Dia mengulas senyum hangatnya. Setidaknya, Miranda bisa lega saat raut murung itu tidak lagi menghiasi wajah Arana, mengingat betapa overprotective-nya Nando semenjak Arana pergi tanpa pamit tempo hari.

"Udah mau berangkat ya, sayang?" tanya Miranda usai meletakkan siraman bunganya ke tempat semula.

Memang kedua ibu dan anak itu sedang terdampar di halaman belakang dengan Arana yang terduduk nyaman di ayunan besi setelah berpeluh ria, membantu Miranda berkebun.

"Iya, Bu. Udah setengah tiga. Takutnya kesorean pas baliknya nanti," jelas Arana menatap sepasang mata Miranda sebagai bentuk kesopanan.

"Kalau Ibu boleh tahu, kamu lagi nyari buku apa di sana. Siapa tahu Nando punya. Jadi, bisa pinjam sama dia. Gak perlu capek-capek keluar."

Arana melarikan pandangannya ke segala arah. Jujur, dia jengkel mendengar nama Nando disebut-sebut. Bila menilik ke belakang, banyak sekali tingkah memuakkan pria tersebut akhir-akhir ini.

Seperti tidak membiarkan Arana pulang sendirian menggunakan ojek online, membuat gadis itu menunggu terlalu lama di sekolah sampai menginterogasi adiknya seumpama polisi saat Arana meminta izin keluar.

"Buku terbitan baru, Bu. Kayaknya Kak Nando belum punya itu," tegas Arana menolak usulan Miranda. 
  
Miranda yang paham betul akan suasana hati putrinya lekas berujar, "Nak, Ibu tahu untuk sekarang mungkin kamu kesal dengan sikap Kakak kamu, tapi percaya sama Ibu, di balik sikap overprotective-nya itu dia peduli dan takut kamu kenapa-napa. Jadi, Ibu minta jangan terlalu diambil hati ya ucapan atau sikapnya. Ibu juga bakal ngomong sama dia untuk bisa sedikit melunak sama kamu."

Arana cuma mengangguk. Dia tidak tahu harus menanggapi bagaimana, tapi yang pasti kekesalannya kerap kali memuncak selama tiga hari ke belakang.

Demi melupakan bahasan mengenai Nando, Arana segera pamit sebelum hari makin sore dan kakak laki-lakinya itu menginjakan kaki di rumah. Kebebasan Arana betul-betul ditentukan oleh Arnando Delicio. Miranda sudah pasti melepaskan Arana pergi. Dia tidak bisa berbuat lebih jika cara pandang si bungsu tidak berubah terhadap sikap berlebihan kakak sulungnya.

Baru sepuluh langkah meninggalkan gerbang, sebuah sedan hitam menghalangi jalannya. Kaca hitam kendaraan mahal itu pelan-pelan terbuka menampilkan si pengemudi.

"Masuk ke dalam." Suara bariton itu lagi-lagi memerintahnya. "Mau diam terus di sini atau gak usah pergi sekalian?" Tantang pria itu khas dengan sifat mendominasinya saat Arana bertahan dengan sikap patungnya.

Mau tidak mau, suka tidak suka, remaja belia itu harus patuh kan? Arana mulai menyamankan dirinya di dalam. Serupa cenayang, sedan ini melaju ke tempat yang tepat. Sahabat Grizzel itu sampai melongo. Darimana kakaknya tahu dia mau ke perpustakaan ini?

Lebih mengejutkan lagi, tubuh tinggi tegap tersebut ikut turun dari mobil. Arana hanya bisa memandangi saja padahal mulutnya sangat ingin berteriak protes. Setelah mengantar jemput dirinya apakah Nando sekarang bertugas menjadi bodyguard?

Namun, rasa risih membuat Arana menatap pria dua puluh sembilan tahun tersebut intens. "Kakak kenapa ngikutin aku?"

Nando menaikan kedua alisnya heran. Pertanyaan macam apa ini?

"Kamu pikir perpustakaan ini punya nenek moyang kamu? Siapa pun boleh masuk ke sini. Jadi, jangan banyak bertanya karena diamnya seseorang itu emas." Selalu kalimat yang sama untuk kondisi berbeda. Arana langsung meninggalkan Nando.

Dia melangkah menuju rak tempat buku-buku sains berdiam diri. Sebaiknya, dia harus segera menyelesaikan perburuannya daripada melirik keanehan Nando lebih lanjut. Tanpa Arana sadari seseorang sedang memandangnya dengan tatapan mesum yang kentara. Orang itu meneliti tubuh molek sang gadis dari ujung kepala hingga kaki. Lebih-lebih matanya jelalatan menilik bokong dan dada Arana.

Mata elang Nando menangkap kegilaan remaja dua puluh tahunan itu. Bersama langkah tegasnya, dia berjalan menghadang pergerakan remaja gila ini. "Pergi atau saya remukan tulang kamu," seru Nando dingin usai meneliti pria yang tidak cocok menjadi saingannya itu.

Tanpa perlu mengeluarkan tenaga ekstra, remaja itu berhasil dia depak dari radar Arana. Sungguh dia tidak sudi gadisnya ditatap demikian oleh orang asing tidak dikenal. Setengah jam memandangi Arana dari kejauhan, Nando pun mendekati gadisnya.

"Bahkan kakak gak rela ngelihat orang lain memandangi miliki kakak se-intens itu, sayang," ucap Nando ketika duduk bersebelahan dengan Arana yang menelungkupkan kepala di meja tampak tertidur pulas. Surai-surai keci gadisnya dia singkirkan perlahan agar puas menatap wajah Arana secara leluasa.

"Kamu cuma milik kakak, Sayang dan gak akan ada yang bisa merebut kamu selama kakak masih hidup dan bernapas."

****

Bikin merinding aja si Nando.

Makasih yang udah mampir ke cerita Brother Or Lovers. Semoga kalian gak bosan baca kisah Arana dan Nando yang super duper kompleks.

Jangan sungkan buat vote, komen dan share Brother Or Lovers ke teman kamu ya 😍😋

Brother Or Lovers [21+]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang