Semesta terlihat menggelap dari lensa kacamata yang sedang dia kenakan. Senyapnya suasana pemakaman umum ini tak ubahnya seperti makam-makam kebanyakan. Walau 500 petak kuburan terhampar di sini tetap saja kesunyianlah yang selalu melingkupi. Agaknya mereka-mereka yang anggota keluarganya di kuburkan di sini jarang sekali berkunjung.
Terlebih menabur bunga lalu mendoakan keselamatan arwah yang sudah tenang di alam sana. Namun, itu tidak berlaku bagi pria yang tengah berdiri tegak di depan sebuah gundukan tanah yang telah dikeramik.
Rahang tegasnya nampak kokoh. Mau dilihat dari segi mana pun pria yang kebetulan mengenakan stelan kemeja hitam tersebut tak hentinya menampilkan ekspresi sedingin es.
Bersama payung yang masih meneduhi kepala dia berusaha menghindar dari cipratan air hujan yang perlahan mulai turun.
Selalu tatapan kosong yang dia perlihatkan.Pun tidak ada guratan emosi yang tercetak di seraut wajah tampannya. Hanya ada sesosok anak yang terlihat tegar meski dunianya telah runtuh di masa lalu.
"Apa kabar, Pa. Udah lama kita gak jumpa. Maaf akhir-akhir ini aku terlalu sibuk dan gak bisa sering-sering ngunjungi Papa kayak biasanya."
Setelah lama berdiam diri tanpa mengatakan sepatah kata pun kini mulutnya terkunci rapat itu terbuka sedikit demi sedikit, menyuarakan rentetan kalimat yang mungkin tidak orang lain percayai.
"Aku harap papa selalu baik-baik aja di sana." Seulas senyum tipis akhirnya muncul meski tidak menutupi ekspresi tenang cenderung dingin itu.
Arnando semakin menguatkan genggaman payungnya. Badai angin semakin kencang menerpa. Membawa puluhan rintik hujan yang berhasil membasahi rerumputan.
"Papa gak perlu khawatir lagi sama masa depanku. Sekarang aku yang memimpin Palma. Bukan dia. Dan sampai kapan pun aku gak akan biarkan siapa pun berhak menguasai perusahaan yang telah papa bangun dengan kerja keras."
Ketika mengatakan kata per kata tersebut hujan semakin membasahi empat tangkai mawar putih bersama bunga bakung yang kelopaknya telah tergeletak menyentuh permukaan tanah.
"Bahkan sekali pun dia yang merasa berhak memimpin Palma. Seumur hidup aku bersumpah akan membuat dia menyesal telah memasuki kehidupan keluarga kita yang bahagia," urai Nando sembari menyunggingkan senyum miringnya. Satu telapaknya yang sudah terkepal kuat syarat akan kemarahannya yang meledak-ledak.
"Apa papa tahu aku berhasil mengelabui mereka selama ini. Persetan dengan topeng putra baik hati yang selalu mereka harapkan. Aku sama sekali gak sudi melihat bajingan itu berkeliaran selayaknya tuan besar."
Mulut Nando tiada henti mengucapkan kalimat penuh kebencian yang telah dia pupuk selama bertahun-tahun. Perasaan sakit yang tidak satu pun orang tahu.
"Jangan minta aku berhenti, Pa karena sesuatu yang berharga dari pria itu sudah dari lama aku genggam. Bahkan, seekor lalat menjijikan pun gak akan aku izinkan untuk mendekat."
Mengingat apa yang sudah dia lakukan selama ini, sudah sangat cukup menghibur hari-harinya yang sedikit menjenuhkan. Lumayan menantang juga padahal dia kira di penghujung usia dua puluhan ini semua hal akan terasa membosankan, tapi kenyataannya tidak. Ini sangat menyenangkan. Lebih menarik daripada menonton formula one di arena balapan.
"Beristirahatlah dengan tenang, Pa. Biar takdir yang menjungkirbalikan kehidupan damai mereka," ucap Nando terang-terangan menunjukkan kebenciannya. Dia menyentuh sekilas nama yang terukir di kayu salib setinggi setengah meter itu sebelum benar-benar meninggalkan lokasi pemakaman, tempat peristirahatan terakhir ayahnya.
***
Holla, aku upadate lagi. Maaf ya kalau alurnya terkesan lambat dan bertele-tele. Sebenarnya ini satu bab yang dibagi dua. Mungkin di wattpad sampai part 80an. Aku harap kalian gak bosan bacanya.
Siap-siap sebentar lagi masuk konflik. Bakal banyak hal mengejutkan yang terungkap di chapter depan.
Thanks to the moon buat yang udah mampir baca, vote dan komen. Seneng banget udah banyak yang mulai follow akun ini xixi.
Yang mau mampir ke Karyakarsa purpleflo boleh banget lho.
See you again guys.
KAMU SEDANG MEMBACA
Brother Or Lovers [21+]
Teen FictionDisakiti secara mental nyatanya jauh lebih mengenaskan daripada dilukai secara fisik. Namun, apa bedanya jika Arnando Delicio melakukan keduanya pada Arana. Dia menyakiti gadis itu, membuat mental sang adik jatuh-sejatuh-jatuhnya hanya karena satu k...