Bagian 6

4K 76 0
                                    

Puluhan bulir air yang mengetuk-ngetuk kaca jendela sudah jelas menggambarkan situasi kali ini. Langit nampak muram. Hawa dingin terus menusuk tulang akan tetapi pupil mata itu tetap terbuka lebar memaku empat belas soal yang terhampar sempurna di permukaan kertas HVS.

Kepalanya setengah menunduk, berusaha tetap fokus ketika memproses segala rumus yang kiranya dapat membantu dia mengerjakan soal-soal persiapan olimpiade tersebut. Di samping gadis itu, Grizzel setia menemani meski konco areknya tersebut sibuk ketawa-ketiwi menonton video nyeleneh warga tiktok.

Sungguh betapa setia kawan sekali seorang Grizzel Anastasia padahal cewek itu tidak mau pulang lebih cepat lalu mati kebosanan di rumah. Sudah jelas orangtuanya masih tertahan di kantor lantas buat apa dia susah payah menjadikan diri sendiri seperti manusia nolep?

Sementara Arana sama sekali tidak mempermasalahkan kegiatan temannya. Dia senang Grizzel mau meluangkan waktu saat seisi sekolah sudah hampir sepi. Pembimbing olimpiadenya pun mengizinkan. Jadilah, kedua gadis remaja ini saling duduk berhadapan sibuk akan aktifitas masing-masing.

Hanya ketika ada video yang perlu Grizzel tunjukkan ke Arana barulah mulutnya berisik. Untung tingkat kefokusan Arana sangat baik, kalau tidak bisa sampai malam mereka mendekam di ruang kelas IPA 5. Paling Grizzel akan terkikik geli setelah sadar mereka tidak ingat waktu.

"Ran ... Arana ...." Grizzel menoel-noel bahu Arana seperti anak kecil yang minta ditemani ke toilet. Arana menoleh, kelopak mata sayunya kelihatan sudah letih. "Nanti jalan-jalan tawaf keliling mall dulu yuk."

Ajakan berbau keluyuran itu Grizzel ungkapkan. Cengiran lebar serupa kuda sengaja dia perlihatkan. Arana mengembuskan napas sangat pelan. Bagaimana dia menjelaskan ya. Sulit juga mencegah Grizzel dan kemauannya.

"Gimana ya, Zell ... Aku bingung belum bisa mutusin. Soalnya ini udah sore banget dan lagi hujan juga," seru Arana otomatis mengerucutkan bibir Grizzel. Pupus sudah rencana briliannya itu.

Ah, kenapa temannya ini susah sekali sih diajak bersenang-senang. Hitung-hitung refreshing otak setelah penat berjibaku dengan Kimia dan pasukannya.

"Kak Nando bilang gak boleh keluyuran. Harus langsung pulang. Apalagi kasus penculikan lagi marak-maraknya."

Kala mengatakan ucapan Nando, ingatan pagi tadi kembali menyeruak ....

Dua kali simpulan di kiri serta kanan sepatunya, Arana telah siap beranjak dari duduk. Kakinya mantap ingin menyusul Lontara yang sudah menunggu di depan sana. Namun, suara berat seseorang menghentikan langkah serempak Arana. Spontan gadis itu menoleh.

Wajah tegas dan berwibawa sang kakak sekarang memenuhi sepasang kornea hitamnya. Nando sudah tampak rapi dengan kemeja yang membalut tubuh tegapnya. Walaupun sering mengawasi perkebunan, tidak bisa dimungkiri putra kandung Miranda ini merupakan pimpinan tertinggi di Indo Palma TBK. Perusahaan kelapa sawit yang memproduksi berliter-liter minyak goreng setiap tahunnya.

"Berangkat sama siapa?" Tanpa ba-bi-bu sebaris kalimat tersebut melesat keluar dari bibir sang kakak. Seakan enggan membiarkan adiknya
lolos sebelum melewati tahap wawancara singkat ini.

"Aku berangkat sama, Pak Lontara." Akhirnya jawaban itulah yang tercetus padahal tanpa perlu ditanya pun dia rasa Nando sudah tahu.

"Oke, terus pulangnya?"

Arana mengigit kecil bibirnya. Sebenarnya apa yang terjadi dengan kakaknya ini? Kenapa sikap anehnya kian hari makin menjadi. Terlebih perlakuan hangat yang beberapa minggu terakkhir ini dia pertunjukkan, tapi tetap saja semua pertanyaan itu Arana simpan sendiri.

Melihat Nando melirik Rolex di pergelangan tangan kirinya, Arana tahu apa yang si kakak maksud. "Sekitar jam lima-an, Kak karena ada bimbingan hari ini buat olimpiade."

Nando mengangguk-anggukan kepalanya merasa puas dengan jawaban remaja tujuh belas tahun itu.

"Sebenarnya Kakak mau nganterin kamu, tapi karena ada urusan mendadak jadi gak bisa. Kamu pulang pergi sama Lontara aja. Kakak gak mau kamu tertahan lebih lama di sekolah," jelas Nando tidak Arana minta.

"Dan ingat setelah urusan kamu selesai di sekolah langsung pulang ke rumah. Jangan keluyuran gak jelas. Apalagi naik angkutan umum sendirian. Kasus penculikan makin marak di Pekanbaru." Titah yang sama seperti minggu lalu. Rasanya Nando tidak bosan mengucapkan kalimat yang sama. Tingkah aneh kakaknya dari hari ke hari makin membuat Arana pusing.

"Iya, Kak."

Tetap saja Arana akan selalu jadi gadis yang penurut, mengenyahkan segala pikiran negatif yang kadung bersarang di otak. Lelah juga berpikir yang tidak-tidak. Selama Nando belum melewati batasnya Arana akan diam.

"Aku berangkat dulu," ucap Arana mencium tangan kakak tirinya takzim. Interaksi keduanya tertangkap jelas di radar penglihatan Miranda yang sedari tadi berdiri di lantai atas menyaksikan tingkah manis sang putra. Makin terkembanglah senyum dua garisnya.

Hanya karena lambaian tangan serta guncangan Grizzel ke pundaknya, mampu mengembalikan Arana ke kenyataan. Kala menoleh ke samping wajah panik justru menghiasi muka sobatnya ini. Terlihat dari sorot matanya yang nampak tidak bersemangat lagi ketika mengajak keliling mall.

"Ran, melamun aja sih? Ayo pulang! Aku jadi takut dengar kau ngomong tentang penculikan soalnya Mama tadi pagi juga bahas itu," lirih Grizzel sembari menarik ujung seragam gadis penyuka kimia ini mirip anak kecil yang tidak betah berada di suatu tempat.

"Bentar, Zel. Aku selesaikan soal ini dulu. Nanggung tinggal dikit lagi nemu jawabannya. Siap itu kita keluar. Untung belum jam enam sore."

Seluruh alat tempur yang berserakan di atas meja satu demi satu Arana bereskan. Itu pun setelah soal tadi ketemu dengan jawabannya. Tidak perlu berlama-lama, kedua remaja penghuni IPA 2 itu sudah berada di luar. Kontan sepasang kaki mereka berlari kecil, sebisa mungkin menghindari hujan yang kian ganas menerpa.

Sesampainya di lorong gedung A barulah mereka bisa bernapas lega. Terlihat dari jauh, bayangan seseorang mengejar langkah lambat keduanya.

"Kalian baru keluar?" tanya Khalil tatkala berhasil mensejajari langkah kedua gadis itu.

"Hehe, iya, Lil," jawab Grizzel cengengesan, sementara Arana tersenyum singkat.

"Nikmat banget kayaknya ya pedekatean sama Kimia?" Ejek Khalil disambut gelak tawa keduanya. Tidak lama kemudian mereka bertiga berpisah jalan.

"Ran, mau bareng aku gak? Kebetulan Pak Anto udah datang tuh," tunjuk Grizzel ke satu mobil Honda Brio yang kelihatan parkir di area halaman depan sekolah.

"Duluan aja Zel. Paling Pak Lontara masih di perjalanan."

"Yaudah, aku pulang dulu ya. Kau gak papa kan nunggu sendiri? Nanti kalau kelamaan, nebeng sama Khalil aja. Jangan pulang sendirian.

"Aman. Udah sana." Arana mendorong pelan bahu Grizzel hingga sekarang bayangan gadis itu hilang setelah masuk ke dalam mobil honda brionya.

Tidak lama kemudian, suara derum motor membising di telinganya. Nampak Khalil tampil keren dengan jaket kulit mahalnya. "Ran, mau bareng?" Sudah jelas Khalil akan menawarkan tumpangannya. Mana mungkin dia membiarkan pujaan hatinya menunggu sendiri ketika sekolah sudah sepi begini.

Hendak menjawab tawaran Khalil, siluet seorang pria membias di bola mata jernih Arana. Pria dengan kemeja gelap yang lengannya sudah digulung separuh nampak berdiri sambil memegangi payung hitam miliknya. Tanpa sadar garis pandang keduanya bertemu. Wajah sinis tersebut Arana tangkap dengan jelas.

****

Siapa yang ngelihatin Arana sampai segitunya? Serem banget.

Jangan lupa vote, komen dan share cerita ini ya supaya makin banyak yg baca Brother Or Lovers. Di karyakarsa purpleflo udah update bagian 11 dan 12. Bisa mampir ke sana kalau mau baca lebih cepat.

Brother Or Lovers [21+]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang