Bagian 26

1.6K 27 19
                                    

Keheningan yang kerap kali mengisi ruang tengah spontan menghilang saat si nyonya rumah menjamu tamu jauhnya. Di meja yang dikelilingi oleh empat buah sofa, terhidang satu teko teh chamomile dan lima potong red velvet yang siap disantap.

Miranda selaku tuan rumah terlihat anggun dengan blouse semata kakinya. Wanita lima puluh lima tahun duduk sambil menyesap tehnya perlahan demi perlahan. Begitu pula sang teman yang tak hentinya menyendok red velvet ke dalam mulut.

Arana yang pulang lebih awal dari sekolah langsung ditarik Miranda untuk bergabung. Mau tidak mau remaja cantik itu menyambut Diandra yang memang tinggal berpuluh-puluh kilometer dari ibu kota Provinsi Riau.

Ajang pertemuan kali ini Miranda jadikan sebagai penyambung tali silaturrahmi yang sempat terputus padahal kenyataan di balik kedatangan Diandra kemari pun dilatarbelakangi oleh undangan si pemilik rumah.

Tidak sengaja bertemu di acara reuni angkatan tiga bulan lalu, menuntun langkah Diandra bertandang ke hunian serupa kastil sebuah kerajaan. Selepas temu kangen dan berbincang ringan masuklah ibu-ibu sosialita ke inti pembicaraan, alasan yang membuat Miranda repot-repot mengundang temannya itu ke rumah.

Tablet tersebut Diandra keluarkan, kontan mengangsurkannya ke Miranda.

"Mir, kamu bisa cek sendiri di katalog ini. Semuanya udah aku susun rapi, dari rancangan dua tahun lalu sampai sekarang," imbuh Diandra kala Miranda asyik menggeser-geser slide yang ada. Mata Ibu tiri Arana ini ikut berbinar seolah sedang melihat sebuah harta karun.

Kilauan perhiasan itu sungguh menyilaukan mata. Walaupun masih berbentuk rancangan, hati Miranda sudah tergugah kala pertama kali melihat perhiasan-perhiasan mewah itu. Hasil tangan Diandra Rosella memang tidak perlu diragukan lagi.

Temannya ini sudah memiliki bakat merancang sebuah perhiasan sedari mereka semester tiga. Mulanya dari keisengan Diandra mendesain satu set aksesoris untuk penampilan mereka di salah satu acara kampus.

Syukurnya, berkat Tuhan selalu menyertai sehingga brand yang Diandra rintis melejit di pasaran hingga seringkali dipakai oleh kalangan sosialita kelas atas. Sebagai teman, Miranda tentu tidak akan melupakan kepiawaian temannya dalam menciptakan model-model perhiasan.

"Desainnya cantik banget, Di. Gak terlalu glamour juga. Kesannya jadi anggun," ungkap Miranda mengomentari rancangan sang desaigner perhiasan ini.

"Ya, begitulah, Mir. Aku kurang suka yang terlalu mewah-mewah banget."

Miranda mengalihkan titik pandangnya yang semula ke tablet kini terarah ke Arana. Gadis itu mengangkat kepalanya setelah sadar sedang diperhatikan.

"Sayang coba kamu lihat. Bagus-bagus kan modelnya." Tablet hitam itu segera berpindah tangan ke anak tirinya. Arana yang sempat tertegun lantas tersadar. Dia mulai menggeser-geser slide, melihat puluhan perhiasan yang berlomba menampilkan kilauannya.

"Iya, Bu. Desainnya bagus-bagus."

Setelah itu ibunya serta Diandra terlibat diskusi ringan. Arana yang berada di tengah-tengah kedua wanita ini hanya jadi penonton dan pendengar yang baik.

Sejujurnya, dia juga kurang mengerti tentang perhiasan meski begitu dia senang-senang saja dimintai pendapat. Absennya Grizzel di room chat secara tidak langsung mengobati kesepian Arana.

"Untuk model yang ini terdiri dari kristal swaroski dan di tengahnya ada batu delima kecil. Cocok buat acara resmi dan non resmi. Harganya emang sedikit mahal, tapi kualitasnya gak perlu diragukan lagi," tutur Diandra mendeskripsikan perhiasan yang dia rancang enam bulan lalu.

"Masalah harga gak terlalu penting, Di. Ada harga, ada kualitas, iya kan?" Diandra menjentikan jarinya, menyetujui pendapat Miranda barusan. "Lagipula, aku udah jarang banget koleksi perhiasan. Sekarang hobinya malah megang sekop sama tanah buat berkebun."

Tawa kecil Miranda meledak kala menjelaskan kegiatan yang dia senangi akhir-akhir ini. Begitu pula sang teman yang tersenyum kecil tatkala mendengarnya.

Bila Arana telaah lebih jauh memang tidak ada yang salah dari ucapan Miranda barusan. Masalah harga bukan persoalan pelik bagi mereka. Kekayaan yang hampir menyentuh angka tiga triliun pantas membuat mereka leluasa dalam mengeluarkan uang.

Asal muasal uang-uang tersebut jelas terlihat dari puluhan hektar perkebunan sawit serta saham di beberapa perusahaan multinasional yang mereka miliki.

"Sebenarnya ada beberapa desain lagi sih, Mir. Kebetulan ada di draft juga. Siapa tahu kamu mau lihat kan." Diandra lekas menyodorkan ponselnya. Otomatis tablet yang berada dalam gengaman mantan janda ini berpindah ke pangkuan Arana.

Arana menerima tablet itu dengan senang hati. Rasa penasaran yang timbul mengakibatkan dara cantik ini menggeser slide demi slide.

Betapa takjubnya gadis remaja itu akan desain yang Diandra goreskan di sketchbook tabletnya. Entah mengapa matanya tertuju ke satu kalung bertakhtakan tiara. Terlihat sederhana memang, tapi itulah nilai tambah kalung tersebut.

Arana tersenyum kala memandangi perhiasan cantik ini. Namun, perhatiannya teralihkan begitu mendengar derap langkah sebuah vantovel yang beradu dengan keramik. Arana otomatis menoleh dan terlihatlah ekspresi datar serta lelah yang kakaknya perlihatkan.

Dengan menunduk sopan, Nando melewati ketiga perempuan di sana. Tanpa Arana sadari mata kakaknya itu sempat tertuju ke tablet yang tengah dia pangku.

Kalung itu pasti akan terlihat sangat bagus jika menggantung di leher jenjang adiknya ....

****

Holla! Aku update lagi. Ramekan dengan vote dan komen ya. Thanks to the moon yang udah mampir.

Luv
Author







Brother Or Lovers [21+]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang