Raut serius menghiasi air muka Suseno kala bertemu dengan salah satu wali muridnya. Kacamata bergaya kuno yang bertengger di hidung perlahan dia naikan demi menatap lekat pria yang berdiri di hadapannya kali ini.
Mata belo Suseno terus saja memindai wajah pria yang dia taksir berusia tigapuluh tahunan tersebut. Jujur, ada rasa tidak percaya ketika orang ini memperkenalkan dirinya sebagai wali Arana. Di pagi buta pula. Saat azan shubuh saja baru berkumandang.
"Jadi, kedatangan Mas ke sini berniat menjemput Arana karena ada salah satu kerabat kalian yang baru meninggal tadi sore?" Suseno kembali mengulangi kalimat yang Nando ucapkan tatkala memperkenalkan diri sebagai kakak sulung Arana.
Nando kemudian melipat tangannya ke belakang. Dia mengangguk sembari tersenyum tipis sekali. "Benar, Pak. Keluarga kami sedang berduka hari ini. Jadi, saya ingin meminta izin ke Bapak untuk mengajak Arana pulang lebih awal."
Ekspresi Nando yang semula datar kini berubah terlihat sedih. Penampilannya yang kacau seolah-olah tidak tidur semalaman begitu menyakinkan orang lain kalau dia memang sedang berduka. Bahkan, kemeja kantor masih membalut tubuh tingginya.
"Kalau begitu saya turut berduka cita yang sedalam-dalamnya." Dengan legowo Suseno mengungkapkan belasungkawanya. Dia kesampingkan rasa curiga itu sebentar saja.
"Apakah mayatnya sudah dimakamkan?" Sebagai rasa simpati Suseno bertanya sekali lagi.
"Belum, Pak. Kami juga sedang menunggu kedatangan tante yang ada di luar kota karena sudah jadi tradisi keluarga setiap ada kerabat yang meninggal, anggota keluarga wajib sudah ada di rumah duka sebelum pemakaman dimulai."
Panjang lebar Nando menjelaskan. Nada bicara serta gesturnya yang menyakinkan membuat Suseno sulit untuk tidak percaya. Apalagi sampai menahan Arana terlalu lama di sini.
Suseno pun agak terkejut ketika Bu Deby bilang ada wali murid yang datang hendak menjemput adiknya padahal agenda field trip mereka masih tersisa dua hari lagi di Bandung.
Namun, sebagai koordinator acara tidak ada
alasan lagi bagi Suseno melarang Arana pulang lebih awal selagi keluarganya tengah berduka di sana. Toh, walinya menjemput dengan cara yang teramat sopan.Tidak lama setelah itu lewatlah seonggok remaja yang terpantau di radar penglihatan Suseno. "Dipo ... Ke sini dulu ...."
Dipanggil demikian Dipo otomatis saja menoleh. Ekspresi sok cool dan songongnyalah yang pertama kali terlihat.
"Ada apa, Pak?" tanya siswanya itu seolah tidak sudi dipanggil.
"Tolong kamu antarkan Mas ini ke kamar hotelnya Arana. Kalau perlu kamu tunggu sampai Arana-nya keluar."
"Ya, Allah Pak. Saya ini baru aja disuruh Bu Deby buat bangunin teman-teman karena sebentar lagi sholat lho. Masa' disuruh lagi sih," tolak Dipo secara halus padahal dia malas saja diperintah pagi-pagi buta begini.
"Sebentar aja, Dipo. Ingat nilai sejarah kamu buat semester ini merah lho karena bolos pas ulangan semalam. Mau bapak buat kamu gak naik kelas?"
Ancaman Suseno ternyata ampuh juga sebab pentolan IPS 3 itu langsung memutar langkah lalu berlalu pergi dari sana. Tentu sembari berdecak kenapa selalu dia yang disuruh-suruh seperti babu.
Tanpa menatap ke arah Nando, Dipo berjalan santai mendatangi kamar hotel Arana. Lima menit menaiki lift sampailah mereka di lantai lima. Tempat Arana dan teman-temannya mengistirahatkan badan.
Rupanya target yang Dipo sasar sedang berbincang dengan Khalil di depan pintu kamar. Obrolan mereka tampak intens sekali. Aish, sebenarnya dia tidak enak juga harus menganggu percakapan mereka.
KAMU SEDANG MEMBACA
Brother Or Lovers [21+]
Teen FictionDisakiti secara mental nyatanya jauh lebih mengenaskan daripada dilukai secara fisik. Namun, apa bedanya jika Arnando Delicio melakukan keduanya pada Arana. Dia menyakiti gadis itu, membuat mental sang adik jatuh-sejatuh-jatuhnya hanya karena satu k...