Nando berdiri tegak di balkon kamarnya. Tatapan datarnya terus saja mengarah ke depan, menatap area sekitar taman yang gelap gulita. Tempat dimana mobil jazz tersebut membawa Arana pergi tanpa seizinnnya. Seringaian kecil kontan mencuat di bibir setiap kali mengingat keberanian adiknya sekarang.
Keberanian yang kini menggelegakkan emosinya sampai ke ujung kepala, akan tetapi semua itu sebisa mungkin Nando tahan supaya rencana yang telah tersusun di kepala berjalan lancar.
"Kita lihat saja hukuman apa yang cocok buat pembangkang kayak kamu Ara," pungkas Nando tersenyum sangat lebar.
Ini pasti menyenangkan. Sangat menyenangkan sampai dia tidak sabar memberi pelajaran berharga yang akan selalu gadis itu ingat selamanya.
Anggaplah ini ketenangan sebelum badai dan saat badai tersebut datang maka kehancuranlah yang akan tercipta. Sekali lagi Nando tersenyum sangat lebar. Entahlah rasanya sangat puas sekali membayangkan hal tersebut menjadi kenyataan.
Bersamaan dengan senyum yang tersungging makin lebar, netra cokelat gelapnya berkali-kali melirik ponsel. Terlihat sedang menunggu sesuatu.
"Sekarang kamu bisa kabur, tapi nanti ... Jangan harap!" Ketika menegaskan itu suara
tawa yang semula renyah berubah jadi menyeramkan.Kilatan dendam seolah memenuhi iris matanya. Tangan pria arogan itu mengepal kuat, menampakkan urat yang telah mencuat dimana-mana. Spontan dia meninju dinding penyangga balkon yang tidak bersalah ini.
Setelah itu Nando tertawa lagi bagai psikopat yang kehausan darah. Sampai pukul 01.00 dini hari dirinya masih betah berdiam diri di balkon. Enggan mempedulikan tubuhnya yang letih. Kemeja yang putra sulung Miranda itu kenakan belum berganti sama sekali.
Jas mahalnya pun entah terbang kemana. Sungguh Nando tidak mempedulikan dirinya lagi. Yang ada di kepalanya hanya Arana, Arana dan Arana. Arana sudah seperti candu baginya.
"Mungkin ibu bisa menolong kamu tadi, tapi tanpa dia sadari secara gak langsung udah
menjerumuskan kamu ke neraka yang kakak buat." Monolog pria bernama belakang Delicio itu tidak henti memperingatkan Arana yang nun jauh di sana.Kalimat makian sudah berulang kali Nando lemparkan. Maka sekarang dia bisa sesantai ini. Imajinasi liarnya kian menari-nari di kepala. Seluruh neuron di otaknya menginginkan Arana untuk tunduk sepatuh-patuhnya tanpa terkecuali.
"Seharusnya kamu udah paham, kakak paling benci disepelekan dan sikap kamu yang begini bikin kakak muak."
Di sisi lain dia bisa saja menyusul Arana sekarang. Membuat sedikit kegaduhan supaya sang ibu mau berterus terang kemana Arana pergi atau menggunakan cara yang lebih halus seperti biasanya.
Namun, semua itu terlalu beresiko. Kedua orangtuanya bisa saja curiga apalagi jika mendengar nada bicara putra mereka yang terkesan memaksa.
Topeng pria bertanggung jawab yang selama ini menutupi wajah aslinya bisa saja terbuka lalu Miranda serta Setya mungkin langsung menjauhkan putri tersayang mereka dari manusia pedofil seperti dia.
Nando sungguh tidak mau itu terjadi. Bagaimana pun dia akan tetap main cantik. Menjalankan rencananya sealami mungkin. Kalau perlu topeng kepura-puraan ini bakal dia bawa sampai mati.
Biarlah hanya tuhan dan semesta saja yang tahu perilaku bejat. Kesempurnaan yang selama ini dia perlihatkan jangan sampai rusak gara-gara karakter aslinya sendiri.
"Apa pun akan kakak lakukan untuk kamu meski pun harus mengorbankan beberapa nyawa." Tangan berkulit kuning langsat itu terlipat di pembatas balkon ini beraamaan dengan dagunya yang menumpu di sana.
Mata elangnya terus saja memperhatikan keadaan sekitar padahal cuma keheningan yang telinganya tangkap. Kalau pun sebuah suara terdengar sudah pasti itu hewan malam yang sedang berkeliaran.
Selama beberapa detik melamun akhirnya dering telepon itu muncul, menarik sudut bibirnya untuk tersenyum sekali lagi. Usai mengatakan halo, mengalirlah informasi tersebut tanpa terlewat sedikit pun.
****
Holla, maafkeun aku yang lama update ya. Semoga suka ya. Jangan lupa tinggalkan jejak ya. Biar aku makin semangat updatenya. Thanks to the moon
KAMU SEDANG MEMBACA
Brother Or Lovers [21+]
Teen FictionDisakiti secara mental nyatanya jauh lebih mengenaskan daripada dilukai secara fisik. Namun, apa bedanya jika Arnando Delicio melakukan keduanya pada Arana. Dia menyakiti gadis itu, membuat mental sang adik jatuh-sejatuh-jatuhnya hanya karena satu k...