46. Titik terang?

526 66 11
                                    

{Selamat Membaca}
ㅡㅡㅡㅡㅡㅡㅡㅡㅡㅡㅡㅡㅡㅡㅡㅡ

"Bu dokter bisa ke rumah? Demam Jian makin tinggi," pinta Mahen pada dokter Nur yang berada di sebrang panggilan.

Sudah 3 jam berlalu sejak Jian ditemukan di gudang sekolah. Mata sembab, hidung memerah dan kaki yang kembali membengkak membuat siapa saja yang melihat Jian akan merasa prihatin padanya.

Arisa menghela napasnya, ia masih belum mengetahui tentang kejadian apa yang menimpa putra bungsunya itu. Saat pulang dengan kedua saudaranya, Jian tidak banyak bicara dan memilih memeluk Arisa erat sembari menangis hingga tertidur. Tanpa disangka suhu tubuhnya justru meninggi, mungkin karena cuaca yang kurang baik ditambah Jian yang sepertinya mengalami serangan panik.

"Kamu kenapa sayang? Kenapa bisa kamu kekunci di gudang?" gumam Arisa. Jangankan Jian, kedua putranya yang lain juga tidak ada yang bercerita apapun padanya.

"Bun...," ujar Jian dengan suara yang parau. Ia menggenggam erat tangan sang bunda.

"A-adek ta-kut."

Arisa mengusap kepala Jian yang sepertinya sang putra bermimpi buruk hingga berkeringat dingin. "Bunda disini sayang... kamu ga usah takut," ucap Arisa.

"Bunda lepas ya plester pendinginnya."

Jian mengangguk lemas. Ia membuka matanya pelan dan melihat Arisa yang sedang tersenyum kearahnya.

"Bunda... waktu di gudang, adek ketemu ayah. Ayah bilang adek kuat padahal ngga, adek lemah dan ngerepotin. Adek jugaㅡ

"Jian... kalau ayah tahu kamu bicara kaya gitu, dia pasti bakal marah. Dia paling ga suka orang yang suka merendahkan dirinya. Kamu ga lemah, kalau bunda ada di posisi kamu bunda juga akan sama kaya kamu ngerasa takut karena ruangan yang gelap dan suara petir. Itu hal wajar sayang, jadi jangan bicara kaya gitu lagi ya?"

"Maaf bunda..."

Arisa mengangguk, ia memeluk Jian sembari menepuk punggungnya dengan lembut.

"Jian mau cerita sama bunda? Kenapa Jian bisa kekunci di dalam gudang?"

Jian terdiam sejenak, bukannya ia tidak mau jujur. Hanya saja ia tidak ingin menambah kekhawatiran sang bunda dan berakhir bundanya itu terlalu fokus padanya. Untungnya belum sempat Jian menjawab, dokter Nur sudah datang untuk memeriksa kondisinya.

➢➢➢➢➢

"Jian dirundung sejak 1 tahun yang lalu, itu artinya kamu juga masih sekolah disana. Kamu beneran ga kenal Kenzo temen sekelas Jian?" tanya Mahen. Ia memutuskan untuk menceritakan tentang perundungan yang Jian alami dengan harapan Chandra bisa membantunya.

Chandra menggeleng, "waktu itu emang ada anak baru pas aku kelas 5 itu artinya Jian kelas 3. Tapi aku ga kenal anak baru itu, kemungkinandia Kenzo. Tapi aku baru tahu kalau dia anak mantan kepsek di sekolah."

"Baru tahu?"

"Iya, setahuku kepsek cuman punya satu anak yang satu angkatan sama aku. Yang atlit maraton itu, sekarang dia gatau kemana sejak kejadian dia ditemuin di gudang dengan kondisi yang parah," jelas Chandra.

Mahen mengetuk dahinya pelan, informasi Kenzo sulit diketahui belum lagi setelah mendengar cerita Chandra sepertinya ada hal janggal.

"Kunci jawaban dari semua ini ada di Jian bang. Alasan dia bisa dirundung, tentang Kenzo yang sebenarnya dan kesaksian beberapa anak. Jian harus berani angkat bicara, biar yang lain juga berani," usul Chandra.

Mahen menghela napasnya, "dia milih bungkam karena sekolah juga seakan buta dan tuli sama kasus perundungan di sekolah. Itu kenapa abang coba selidikin dulu sampai banyak bukti kekumpul pas nanti kita buka suara, semua bakal diterima sama publik."

Dari BundaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang