54. Bunda hebat!

499 64 7
                                    

{Selamat Membaca}
ㅡㅡㅡㅡㅡㅡㅡㅡㅡㅡㅡㅡㅡㅡㅡㅡ

"Kamu yakin?" tanya Mahen pada si bungsu.

Jian menoleh dan mengangguk mantap, "abang ga usah khawatir, adek yakin kok. Lagipula udah terlalu lama adek izin sekolah."

Mahen menghela napasnya, entah kenapa rasanya berat membiarkan Jian kembali bersekolah ke sekolahnya yang lama. Terlalu larut dengan pikirannya, Mahen tersentak saat Jian menggenggam tangannya.

"Adek udah sembuh, kemarin gitu 'kan kata dokter Nur," ucap Jian diakhiri senyuman lebar anak itu. Mahen ikut tersenyum, lalu mengacak rambut Jian gemas. Tentu ia tahu proses Jian untuk sembuh tidaklah mudah, namun tidak sesulit itu. Tidak mudah saat Jian terkadang merasa putus asa dan tak jarang merendahkan dirinya, tak sesulit itu karena ambisi Jian untuk sembuh juga tinggi. Hingga 2 minggu berjalan, perlahan semuanya membaik. Hanya saja Jian tetap harus melakukan konsultasi satu minggu sekali pada dokter Nur, untuk memastikan kondisinya.

"Abang antar sampai kelas, ada yang mau abang urus dan sampein ke wali kelas kamu," kata Mahen sembari membuka sabuk pengamannya.

Jian mengangguk, ia juga membuka sabuk pengamannya dan membuka pintu mobil. Kakinya menginjak pekarangan sekolah, matanya menelusuri setiap jengkal bangunan sekolah. Tempat dimana dia menempuh ilmu dan tempat yang menjadi trauma terbesar dirinya. Tapi bagaimanapun Jian tidak bisa terus tenggelam di dalam rasa trauma itu. Jian harus melawannya, karena dengan begitu Jian bisa bangkit.

"Ayo," ajak Mahen, ia menuntun Jian berjalan di sepanjang koridor sekolah.

Meski Jian mencoba untuk berani, tetap saja ketakutan itu masih tersisa dikit. Terbukti dari dirinya yang tanpa sadar meremat tangan sang abang, saat melewati beberapa tempat yang pernah menjadi saksi bisu perundungan terjadi. Mahen tersenyum kecil, lalu menggenggam tangan Jian lebih erat. Ia jelas tahu adik kecilnya itu memang pemberani dan hobi menyembunyikan ketakutannya.

Mereka berhenti di depan kelas 5-A ; kelas Jian. Pintunya tertutup, mungkin karena jam pelajaran sudah dimulai. Mahen menyuruh Jian untuk membuka pintu tersebut.

Jian menarik napasnya sebelum membuka pintu, lalu menghembuskannya pelan saat pintu terbuka.

"Selamat datang kembali! Jiandra!"

Pekikan dari teman sekelasnya, berhasil membuat Jian menahan napasnya. Mereka menyambut Jian? Ada rasa senang dihati Jian saat melihat hal tersebut. Namun ada keraguan juga, karena pasti hal ini dilakukan atas suruhan wali kelasnya bukan keinginan teman sekelasnya.

"Jian, mau diem di depan pintu aja? Kuenya dianggurin gitu aja nih?" ujar Gina, salah satu siswi di kelas Jian.

Jian melangkah masuk, diikuti sang abang dibelakangnya. Ia memperhatikan semua orang, senyuman terpatri diwajah mereka, terutama wali kelasnya.

"Selamat datang kembali Jian," ujar Bu Vina sembari memeluk Jian.

"Kali ini, sekolah ini akan benar-benar menjadi rumah keduamu. Jangan khawatir dan takut lagi, karena ada ibu yang siap menjaga kamu disini dan temen-temen kamu yang akan siap sedia mendampingi kamu," jelas bu Vina sembari menangkup pipi Jian.

Si empu tersenyum, "ibu memang selalu menjaga saya."

Jian kembali memeluk wali kelasnya itu, ia tahu jika sejak awal semuanya terjadi bu Vina lah yang sudah menjaganya. Wali kelasnya itu bahkan sudah pasang badan saat dirinya yang justru dituduh sebagai perundung. Hanya saja semua terhalang dengan jabatannya yang tidak setinggi guru lain.

Dari BundaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang