53. Kembali Pulang

621 68 8
                                    

Aku nulis bagian ini sambil denger lagu yang di mulmed... meski konteksnya beda, tapi sama-sama "Pulang".

{Selamat Membaca}
ㅡㅡㅡㅡㅡㅡㅡㅡㅡㅡㅡㅡㅡㅡㅡㅡ

"Selamat pagi, Jian? Gimana perasaannya setelah bangun tidur?"

Jian melirik ke arah dokter Nur, lalu tersenyum. "Baik bu dokter. Tidur tadi Jian mimpi indah, Jian main di taman sama ayah, bunda, abang dan kakak."

Dokter Nur tersenyum menanggapi ucapan Jian. 3 hari sudah berlalu sejak dimana kejadian yang menegangkan itu terjadi. Kini, si bungsu kesayangan Arisa sudah lebih baik. Meski masih belum bisa terbuka untuk perasaannya. Selama itu pula Jian melakukan konsultasi bersama dokter Nur. Dokter wanita itu bahkan rela mengambil cuti untuk Jian berkonsultasi padanya.

"Bu dokter...," panggil Jian.

"Iya, kenapa sayang?"

"Jian masih belum sembuh ya?" tanyanya dengan lugu.

Tempo hari yang seharusnya dia dipulangkan, terpaksa dirawat kembali karena kondisinya sempat memburuk saat suhu tubuhnya meningkat. Infusan di tangannya sudah dilepas, tapi sesekali tetap dilakukan pemeriksaan oleh dokter.

Dokter Nur mengusap surai hitam Jian dengan lembut, "Jian pasti pulang kalau udah sembuh total."

Jian mengangguk, itu artinya dia belum sembuh total. Tapi bukankah merepotkan jika selama satu pekan dirinya terus-terusan dirawat? Sang bunda, abang, dan kakaknya pasti kelelahan karena harus bolak-balik rumah sakit karenanya.

"Sebentar lagi bunda kamu datang," ucap Dokter Nur.

Jian menggenggam tangan dokter wanita itu dengan erat. "Apa yang harus Jian lakuin? Biar Jian bisa sembuh lebih cepat?"

Dokter Nur mendudukkan dirinya di kursi samping brankar sembari membalas genggaman Jian dengan kedua tangan lembutnya.

"Kuncinya ada di diri Jian."

Jian mengerutkan dahinya, tanda dirinya tidak mengerti.

"Maksudnya, semua dari keyakinan dan kepercayaan Jian untuk sembuh. Jian juga harus lebih terbuka dengan perasaan Jian, entah sakit, senang, sedih, kesel juga bahkan. Jian harus biasa untuk bercerita sama keluarga... dengan saling terbuka, pasti bakal lebih gampang juga saling ngejaganya," jelas dokter Nur.

Jian terdiam, dokter Nur benar. Dirinya terlalu tertutup bahkan pada keluarganya. Tapi ia tidak ingin jika ia banyak bercerita, waktu mereka akan terganggu.

"Jangan merasa kalau kamu merepotkan, inget itu!" peringat dokter Nur. "Kamu berhak untuk mengeluh, kamu berhak untuk cerita keseharian kamu. Justru itu bakal bikin bunda kamu seneng," lanjutnya.

Jian tetap diam dengan isi kepala yang berkecamuk. Bundanya akan senang? Benarkah? Mengingat beberapa hari ini yang ia lihat hanya senyum sendu yang terpatri dari wanita yang berjasa membuatnya hadir di dunia ini.

"Jian."

Ia tersentak saat dokter Nur mengusap lengannya. Ia menatap dokter Nur yang tersenyum penuh makna padanya dan Jian mengerti akan makna itu. Ia ikut menyunggingkan bibirnya.

➢➢➢➢➢

Jian sudah diperbolehkan pulang di sore hari, setelah dokter memeriksa Jian. Kondisinya jauh lebih baik, bahkan kakinya sudah tidak bengkak lagi.

Jian duduk tenang di kursi penumpang bagian samping sembari memperhatikan jalanan dengan beberapa lampu yang sudah menyala dan rintikan hujan yang memberikan kesan ketenangan tersendiri.

Dari BundaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang