52. Jangan

695 77 3
                                    

{Selamat Membaca}
ㅡㅡㅡㅡㅡㅡㅡㅡㅡㅡㅡㅡㅡㅡㅡㅡ

Mahen menyandarkan tubuhnya di bangku koridor rumah sakit. Entah berapa kali helaan napas keluar darinya.

"Bang... udah ya jangan nyalahin diri sendiri, ga ada yang perlu disalahkan. Kita cukup saling memahami," ucap Chandra.

"Tapi nyatanya kita ga bisa saling memahami, entah abang yang ga peka atau Jian yang pinter nyembunyiin lukanya," balas Mahen.

Chandra menghela napasnya, ucapan Mahen ada benarnya. Padahal ia dan abangnya selalu mengingatkan untuk saling terbuka. Tapi sayangnya adik kecilnya itu terlalu mengedepankan rasa tidak enak sebelum bercerita tentang keluh kesahnya.

"Untuk sementara, kita kesampingkan dulu tentang siapa yang ga peka atau siapa yang gamau cerita. Sekarang kita fokus bantu Jian untuk mengobati traumanya, karena bagaimanapun... kunci dari semua masalah ini adalah trauma yang Jian pendam," jelas Chandra.

"Kamu bener, rasanya bakal makin runyam kalau kita terlalu memikirkan itu," tukas Mahen.

"Abang temenin adek, biar Chan yang nyamperin bunda," saran Chandra yang diangguki Mahen.

Baru saja mereka bangkit, mereka dikejutkan dengan suara ribut dari kamar rawat Jian. Mahen dan Chandra bersitatap.

"Adek!"

Keduanya masuk ke dalam ruangan dengan napas memburu. Matanya terbelalak saat melihat gelas dan vas yang sudah pecah di lantai. Bukan hanya itu, brankar Jian kosong dengan selang infus yang tergeletak begitu saja, terdapat tetesan darah yang membekas di atas brankar.

"Jian! Adek kamu dimana?" panggil Mahen.

Mahen yakin jika adiknya tidak keluar sama sekali, karena pintu ruangan yang tetap tertutup rapat.

Terdengar isakan dari kolong brankar, membuat Mahen dan Chandra saling menatap. Mereka berjongkok untuk memastikan suara isakan tersebut.

"Adek..."

Mahen menyuruh Jian untuk keluar dari kolong brankar, tapi adiknya itu menolak. Punggung tangannya berdarah karena infusan yang sepertinya ditarik paksa.

"Adek kenapa dibawah?" tanya Chandra.

"Mereka... berisik! Jian ga suka! Kepala Jian sakit denger mereka," jawab Jian dengan suara yang gemetar.

Mahen dan Chandra saling melempar pandang, lalu mengangguk kecil.

"Mereka siapa?"

"Adek gatau! Adek gatau siapa mereka! Mereka berisik!"

Mahen menarik Jian untuk keluar dari kolong brankar, tapi hal itu justru membuat Jian memberontak. Bahkan tanpa disadari sesekali dirinya tidak sengaja memukul abang sulungnya.

"Lepas bang! Lepas! Biarin Jian dibawah! Biarin Jian sembunyi! Biar mereka ga berisik lagi," isak Jian yang berusaha melepas pegangan tangan Mahen.

"Argh! Abang, tolong bang... lepasin. Jian harus sembunyi, suaranya makin berisik." Dengan sekuat tenaga Mahen menahan tangan Jian agar tidak memukuli kepalanya sendiri.

Dari BundaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang