50. Peran Keluarga

632 70 5
                                    

{Selamat Membaca}
ㅡㅡㅡㅡㅡㅡㅡㅡㅡㅡㅡㅡㅡㅡㅡㅡ

Setelah menidurkan Jian, Mahen menyusul Chandra yang duduk di taman rumah sakit. Ia duduk di samping adiknya yang sibuk menatap bintang.

Chandra melirik abangnya dengan ekor matanya, "maaf untuk kejadian tadi. Chan cuman ga suka adek kaya gitu. Tadi adek... kaya bukan adek Jian, adik kita. Chan ngerasa asing sama dia, Chan ga bisa ngelihat adek yang sekarang, Chan takut kehilangan adek, Chan benci sama adek yang ngerendahin dirinya sendiri."

Mahen tersenyum, ia merangkul Chandra.

"Abang paham, karena abang juga seperti itu. Tapi, tolong ya... untuk saat ini kita harus bisa kontrol emosi masing-masing. Kondisi mental adek lagi stabil, gimanapun kuatnya dia dihadapan kita. Dia tetep anak kecil yang belum banyak mengerti, dia tetep si bungsu yang manja. Bahkan Jian ga serewel anak bungsu biasanya, kamu tahu itu 'kan?"

Chandra mengangguk.

"Tentu kamu inget waktu dia baru sadar, terus minta keluar buat ketemu Kenzo waktu dia tahu kalau bunda keluar buat nemuin Kenzo. Dia bersikeras nunjukkin ke kita kalau dia bakal baik-baik aja dan mau menyelesaikan semuanya. Hebatnya dia bisa, adek kita pemberani ya?" Mahen kembali bercerita.

Chandra kembali mengangguk setuju.

"Sekarang adek lagi kaya bangunan yang terbuat dari pasir, sekalinya ombak ngehantam pasti langsung hancur. Itu sebabnya kita harus lindungin adek dari ombak itu. Kita bikin adek yang jahil, aktif dan percaya diri itu kembali lagi. Memang butuh waktu yang ga lama, tapi kalau kita jalanin bersama waktu itu ga akan terasa," jelas Mahen.

Setelah ucapan Mahen tersebut, tidak adalagi percakapan diantara kedua
nya atau tepatnya Mahen tidak lagi bersuara. Karena sejak tadi Chandra hanya merespon dengan anggukan kepalanya.

"Bang, katanya kalau malam banyak bintang besok harinya bakal cerah," celetuk Chandra saat mereka sibuk mengamati bintang.

"Ya, katanya begitu sih," Mahen menyetujui ucapan Chandra.

"Apa besok hari kita akan secerah langit? Sedangkan matahari keluarga kita lagi redup," kata Chandra dengan mata yang terus mengamati bintang.

Mahen mengerti ke arah mana Chandra berbicara.

"Tentu, kita buat matahari keluarga kita kembali cerah. Kita buat awan mendung itu jauh-jauh dari matahari kita," sanggah Mahen.

Chandra tersenyum, "jadi kangen adek yang jahil... yang suka labil kadang kalau Chan lagi jahilin abang ngikut ke Chan. Giliran Chan dijahilin abang ngikut ke abang. Giliran dia yang kita jahilin, dia ngambek sambil ngadu ke bunda pake kosakatanya yang belibet."

Mahen terkekeh, mengingat masa-masa itu. Saat ini Mahen sudah terlalu disibukkan dengan kehidupan kuliah. Sedangkan Chandra sibuk dengan dunia sekolah dan organisasinya. Perlahan ia paham, kenapa Jian memilih untuk memendam lukanya sendiri.

"Bang... makasih ya," ujar Chandra tiba-tiba.

Mahen tersentak, ia menoleh ke arah Chandra yang masih sibuk menatap langit. Ia tidak menyanggah ataupun menjawab ucapan Chandra, menunggu kelanjutan ucapan adiknya itu.

"Makasih karena abang udah berusaha yang terbaik buat keluarga ini. Abang bantu Chan buat nyelesai-in masalah Chan waktu itu, abang bantu bunda dengan kerja di cafè, bahkan sekarang abang bantu cari titik terang kasus perundungan yang dialami Jian. Abang hebat, kalau Chan jadi abang... kayanya Chan ga sanggup deh," ucap Chandra.

Mendengar ucapan Chandra, Mahen jadi teringat ucapan sang ayah saat dirinya masih kecil.

"Kalau suatu saat ayah pergi, ayah yakin kamu pasti bisa diandalkan. Kamu bisa jaga Bunda dan adik kamu dengan baik. Jauh lebih baik dibanding ayah."

Dari BundaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang