{Selamat Membaca}
ㅡㅡㅡㅡㅡㅡㅡㅡㅡㅡㅡㅡㅡㅡㅡㅡMinggu pagi ini Arisa sengaja mengajak ketiga putranya untuk piknik. Mengingat beberapa waktu lalu adalah masa-masa sulit bagi mereka. Namun sebelum pergi ke tempat piknik di taman pinggir kota.
Mereka menyempatkan waktu untuk menemui Bima, sang ayah. Makam yang sudah ditumbuhi rumput liat di sampingnya, menunjukkan jika makam tersebut sudah lama tidak dikunjungi.
Arisa membersihkan rumput di makam suaminya itu dibantu oleh ketiga putranya. Setelah itu mereka merapalkan doa dan menyiram makam dengan air doa, kemudian menaburkan bunga di atas makam.
"Halo ayah, apa kabar? Maaf ya, kita baru sempet dateng kesini. Tentu ayah tahu 'kan meski tanpa kita kasih tahu," setelah mengucapkan itu Mahen mendongakkan kepalanya. Entah kenapa matanya terasa memanas saat ia berbicara. Ia tersenyum kecil ke arah Chandra yang mengusap punggungnya.
"Ayah bahagia terus disana ya... ayah bakal selalu jadi kekuatan buat abang ngejaga adik-adik abang," lanjutnya dengan tersenyum kecil.
Kini giliran Chandra yang berbicara, "Ayah... ayah selalu ada sama kita 'kan? Itu kenapa kita selalu kuat dan bisa menghadapi masa-masa sulit kemarin. Terimakasih ayah.
Setelah itu, giliran Jian pun tiba. Tapi anak itu tidak berbicara apapun dan hanya menatap nisan sang ayah. Hal itu berhasil membuat bunda, abang dan kakaknya khawatir. Namun, saat Arisa menepuk pundaknya. Jian justru terisak sembari memilin jarinya.
"Ma-maaf," isaknya dengan bahu bergetar.
Jian menggigit bibirnya, sebenarnya ia tidak ingin menangis. Tapi saat gilirannya berbicara, matanya memanas dan dadanya terasa sesak.
"Ma-maaf ayah... karena Jian ayah jadi jarang dikunjungi. Maaf karena Jian masih terlalu bergantung sama bunda, abang dan kakak. Ji-jian pikir... Jian bisa sendiri, t-tapi ngga Jian ga bisa." Arisa memeluk si bungsu, membuat Jian menumpahkan tangisnya di dalam pelukan sang bunda.
Mahen dan Chandra tersenyum kecil dengan mata berkaca-kaca. Posisi duduk yang bersebrangan, membuat mereka hanya bisa memperhatikan Arisa yang memeluk Jian.
Arisa menangkup pipi Jian yang basah, wajah anak itu memerah dengan mata yang menjadi sipit karena menangis.
Jian menutup wajahnya karena malu, padahal ia laki-laki tapi gampang sekali menangis. Pikir Jian.
Arisa menyeka air mata Jian, kemudian mengecup kedua matanya. "Untuk kedepannya, semoga air mata bahagia selalu turun dari mata yang indah ini."
Jian terkekeh, "a-adek jelek banget ya..."
"Ngga kok, malah makin ganteng kalau kata kakak. Apalagi hidung sama pipi kamu, kaya lagi pake blush on," ucapan sang kakak membuat Jian mendelik dengam pipi menggembung.
Chandra bertingkah lagi, "kakak...," desisnya.
"Loh beneran kok, matanya jadi kaya orang China malah," Chandra masih gencar menjahili Jian.
Jian mendengus, kemudian menatap Mahen. "Abang," rengeknya.
Mahen tersenyum jahil, "abang setuju kok sama ucapan kakak. Kamu kaya tomat, hahaha."
"Huwaaaa bunda," kini Arisa yang menjadi sasaran rengekannya.
"Bunda ga ikutan ya," elak Arisa yang justru ikut menjahili si bungsu.
Jian bangkit dari duduknya dan pergi dari area makam, disusul oleh Chandra dan Mahen.
"Take your time, bun," bisik Mahen sebelum pergi.
KAMU SEDANG MEMBACA
Dari Bunda
Fiksi Remaja-tamat- [ nct lokal : Mark, Chenle, Jisung ft. Irene (RV) ] Dari Bunda untuk Abang, Kakak dan Adek. [ꜱᴛᴀʀᴛ : 20 Januari 2023 ᴇɴᴅ : 10 Agustus 2023] ©Rrantomato