57. Sibuk

398 77 13
                                    

{Selamat Membaca}
ㅡㅡㅡㅡㅡㅡㅡㅡㅡㅡㅡㅡㅡㅡㅡㅡ

"Abang! Kakak! Adek! Sarapan dulu ayo," ajak Arisa pada ketiga putranya, pagi ini wanita itu menyiapkan roti panggang dengan selai coklat.

"Pagi bunda, hari ini Chan ga bisa sarapan di rumah soalnya ada kegiatan yang harus disiapin. Mau bareng-

Ucapan Chandra terhenti saat  ponselnya bergetar, "Eh? Bun Dimas udah datang kayanya, Chandra duluan ya.."

"Ga sarapan bareng aja dulu aja Dimas sekalian."

Chandra menggeleng, "udah telat bun, gapapa ada bekal kok." Chandra mengangkat kotak bekalnya, lalu mengecup pipi sang bunda sebelum pergi.

Sesaat setelah Chandra pergi, Mahen dan Jian turun bersama. "Kakak udah pergi bun?" tanya Jian yang diangguki Arisa.

Mahen duduk di samping Jian, berhadapan dengan bundanya. Meja makan terasa sepi karena mereka hanya fokus untuk makan. Beberapa hari ini Chandra selalu sibuk dengan organisasinya, jadi tidak sempat untuk sarapan.

"Bun, hari ini abang pulang malem ya... ngejar projek di kampus juga biar cepet beres," ucap Mahen. Sudah tiga hari Mahen selalu pulang malam dan tidak sempat makan malam bersama.

"Iya, jaga diri baik-baik. Jangan lewatin makan, jangan lupa bawa kunci pagar sama rumah," Arisa mengingatkan hal itu pada Mahen karena tak jarang anak itu lupa pada hal kecil itu.

Setelah percakapan singkat itu, Mahen dan Jian pamit untuk berangkat menempuh ilmu. Arisa tersenyum kecil menatap punggung keduanya yang menghilang ketika pintu tertutup. Terkadang ia merindukan momen saat ketiga putranya masih belia, saat dirinya masih sering dipanggil untuk melakukan hal kecil atau saat mereka yang merengek untuk tidur dipeluk dirinya. Waktu berlalu begitu cepat bagi Arisa, jika boleh jujur ada rasa tidak rela saat melihat ketiga putranya tumbuh dengan cepat. Arisa belum puas mengajarkan mereka tentang hal kecil, ia belum puas memberi tahu tentang baik buruknya dunia, ia belum puas memanjakan ketiga putranya itu.

Arisa menelisik setiap penjuru rumah dengan teliti, dulu ketika kepergian Bima Arisa sempat berpikir untuk menyerah. Karena ia merasa dirinya tidak akan mampu untuk membesarkan mereka seorang diri, tapi melihat wajah polos Chandra dan Jian juga ucapan Mahen kecil membuat perasaan menyerah itu menguap begitu saja. Dan pada akhirnya Arisa berhasil dengan semua suka dan duka yang tejadi. 

Arisa menyeka air matanya saat melihat foto keluarga yang mereka ambil di studio foto saat ulang tahun mendiang sang suami, Bima. Dengan Jian yang duduk sembari memangku foto sang ayah, membuat foto itu terlihat seperti keluarga lengkap.

"Ayah juga harus diajak, biar adek yang pegang foto ayah. Biar nanti ayah dateng ke mimpi adek hihi."

Ucapan polos si bungsu berhasil membuat gemas sekaligus sesak di ruelung hati, karena ucapan polos yang terlontar dengan senyuman yang sumringah itu menyimpan luka tersendiri bagi Jian.

"Abang sama kakak beruntung ya sempet main sama ayah, Jian cuman bisa ngorol sama fotonya, ga asik hehe."

Jian memang berperan menjadi putra bungsunya dalam kehidupan Arisa, dia memang manja pada siapapun yang membuatnya nyaman. Namun Arisa tahu, tak jarang Jian memilih diam saat ada hal yang membuatnya kesal atau sakit hati. Bahkan beberapa kali ia memergokinya menangis sendiri, melihat hal itu terkadang membuat Arisa merasa bersalah karena belum bisa menjadi ibu yang baik baginya.

Dari BundaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang