47. Bunda bertindak?

552 65 2
                                    

{Selamat Membaca}
ㅡㅡㅡㅡㅡㅡㅡㅡㅡㅡㅡㅡㅡㅡㅡㅡ

"Bang, abang yakin ga bakal kasih tahu bunda soal Jian?" tanya Chandrs memastikan lagi. Mengingat sang bunda sangat tidak menyukai jika salah satu dari mereka merahasiakan sesuatu darinya.

Mahen mengangguk mantap, "kita selesaikan dulu sendiri. Setidaknya kita juga harus hargain keputusan Jian yang ga beri tahu bunda karena takut bunda khawatir. Kecuali Jian yang udah cerita duluan, baru deh kita juga ikut angkat bicara," jelas Mahen.

"Okey! Semoga ga akan jadu masalah nantinya," ujar Chandra yang kembali diangguki oleh Mahen.

"Oh ya, bunda kemana? Sejak pulang sekolah tadi, Chan ga ngeliat bunda," ucap Chandra.

"Kayanya ke kafè dulu deh setelah dari sekolah Jian ngasih surat izin," balas Mahen.

"Kondisi Jian gimana?"

"Udah agak mendingan, cuman masih tetep ngigau gitu," jawab Mahen.

"Chan pergi ke Jian dulu ya," kata Chandra sembari melangkahkan kakinya ke kamar sang bunda. Karena Bundanya yang meminta untuk tidur bersama Jian, agar lebih mudah mengawasinya.

"Dek ... kakak masuk ya," ujarnya sebelum masuk. Ia tersenyum gemas saat melihat Jian yang terlelap dengan plester pendingin di dahinya.

"J-jangan..."

"Jangan ganggu aku..."

Chandra mendekat saat Jian mengigau dengan keringat dingin yang keluar. Adiknya itu terus mengigau dan merintih, namum matanya tetap setia menutup. Sesekali dahinya mengerut dengan tangan yang meremat selimut.

"Berhenti!"

Jian terbangun dengan napas terengah-engah. Ia meremat selimutnya, lalu menoleh ke arah seseorang yang duduk di sampingnya. Tanpa basa-basi Jian langsung memeluk sang kakak.

"Kak... Jian takut," lirihnya.

Chandra mengusap punggung Jian, "kakak disini, kamu ga usah takut."

Ceklek

Mahen yang baru saja masuk ke dalam kamar itu tersenyum kecil melihat kedua adiknya sedang berpelukan.

"Abang boleh gabung?"

Jian melepaskan pelukannya dari Chandra saat mendengar suara dari abang sulungnya itu.

"Udah enakan?" tanya Mahen sembari melepas plester pendingin dari dahi Jian.

Yang ditanya pun hanya mengangguk. Dengan telaten Mahen mengelap keringat Jian dan menyeka air matanya.

"Mimpi buruk lagi ya?"

Jian kembali mengangguk. Ia menatap abang dan kakaknya bergantian.

"Ada apa?" tanya Mahen dan Chandra serentak.

"Bang... kak... apa kelahiran Jian itu salah? Seandainya Jian ga lahir, ayah pasti masih ada 'kan? Abang sama kakak pasti bakal tumbuh sampe gede sama ayah."

Dari BundaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang