“Katanya, cinta tumbuh berawal dari sebuah keterbiasaan. Seperti terbiasa melihat bayangmu di pagi buta.”
🌠
"Sial! Udah ditutup lagi!" dengusnya mengatur napas yang tersenggal-senggal. Matanya tak lepas mengamati gerbang depan yang dijaga ketat juga tampak beberapa siswa ditahan lantaran datang terlambat, sama sepertinya.
"Kalau telat, kamu bisa lewat jalan belakang."
"Eh? Kok, malah dikasih tahu?"
Ditanya demikian, dia terkekeh geli. "Ya, kali aja kamu telat lagi kayak tadi. Tapi, nggak apa-apa, sih kalau kamu gak mau tahu."
"Eh, Kak. Tunggu dulu! Emang jalan belakang nggak dijaga? Biasanya tempat-tempat gitu suka dijaga juga."
Dia kembali tertawa pelan. Sudah ia duga adik kelasnya ini pasti ingin tahu. "Oh, banyak anak sini bilang, kalau mereka yang lewat jalan belakang bisa kena sial berturut. Jadi jarang ada yang lewat ke sana. Mereka lebih suka dihukum dari pada kena sial mulu," ceritanya.
Si adik kelas mengangguk kecil. "Tapi apa enaknya dihukum? Lagian kalau mereka bilang gitu, itu artinya jalan belakang jarang dijaga, kan?"
"Ya, beda lah. Hukuman buat yang telat nggak susah, apalagi kalau anak baru, biasanya di bolehin masuk asal atribut lengkap dan sesuai aturan."
"Apa iya, gue coba lewat belakang? Nggak ada salahnya, kan?" gumamnya lirih.
"Ngapain di sini? Nggak masuk?"
Suara berserta tepukan di pundak menyadarkan lamunannya. Dia menaikkan sebelah alisnya. "Anak baru, kan? Ikut gue," titahnya sambil menarik lengan si lawan bicara.
"Ngapain ke sini?"
Kepala si gadis celingak-celinguk memerhatikan sekeliling mengabaikan pertanyaan lawannya. Tidak ada alat bantu lain di sana, seperti tangga, misalnya. Dia mendengus sebal. Terpaksa dia meminta bantuan si lelaki yang ditariknya tadi. "Nunduk!" titahnya seenak jidat.
"Huh?"
Si gadis mendesah frustrasi, mereka tak ada waktu melakukan reka ulang. "Nah, lo diam, oke? Lo tenang aja, gue nggak berat, kok. Kemarin gue diet tiga kali nggak nambah makan," celotehnya. Dia melempar tas ke area dalam sekolah. Sebelah kakinya menginjak punggung si lelaki diikuti kaki lainnya, kemudian melompat ke atas dinding, yang beruntungnya dia, dinding sekolah bagian belakang tidak terlalu tinggi, baginya. Mungkin sebab bantuan tumpuan dari si lelaki.
"Ngapain diam aja? Nggak naik? Lo kan tinggi, perlu gue bantuin?"
Si lelaki ikut mempraktikkan apa yang dilakukan si gadis, tentu tanpa tumpuan. Dia meloncat ke bawah, meninggalkan si gadis yang masih duduk diam di sana.
KAMU SEDANG MEMBACA
Escape From You [COMPLETED]
Teen Fiction[FOLLOW SEBELUM MEMBACA] Sana tak sadar jika dirinya telah menggali kenangan masa lalunya sendiri. Makin dia bertekad, makin dekat juga kenangan itu menyapa. Sayang, dia terlambat. Kini dia tak bisa mengembalikan waktu, karena sejak awal dia salah...