“Andai kata menerima lah jawabannya, aku rela menyambut takdir burukku.”
🌠
Langkahnya terayun lambat. Akhir-akhir ini, kepalanya terasa pening. Bukannya mendapat titik terang, dia malah menemukan benang kusut tersembunyi apik di balik rasa ingin tahunya yang membumbung tinggi. Tak memerhatikan jalan, dia tidak sengaja bertabrakan dengan seorang gadis.
"Jalan pakai mata, dong!" tegur si gadis kesal.
"Maaf, Kak," balasnya lirih.
Untuk sesaat, lawannya itu bergeming. Bukan balasan tak kalah menyebalkan yang diterima, melainkan sebuah permintaan maaf yang sulit terbayangkan selama mereka mengenal. Dia mendengus. "Gue nggak tahu apa rencana lo sekarang, tapi gue benci lihat muka melas lo itu."
"Maaf." Lagi, si adik kelas mengucap kata maaf. Kepalanya menunduk.
"Berisik, lo!"
"Maaf, Kak."
Mendengarnya, si kakak kelas geram. Namun tak lama, seukir senyum licik timbul di wajahnya. Jika tebakannya benar, maka dia mempunyai kesempatan untuk membalaskan dendam kepada adik kelasnya yang dengan berani melawannya. Ini akibatnya kalau lo nantang orang yang salah, Sana, batinnya.
🌠
"Lo lihat tadi? Gue yakin, itu adik kelas bakal kapok."
"Siapa suruh ngeladenin cewek kayak Rere."
"Lagian nggak ada untungnya bikin Rere marah."
"Belum tahu aja dia, kenapa nggak ada yang berani sama Rere."
Sahutan demi sahutan meledek makin mempercepat laju kakinya menuju lapangan. Tiba di sana, dia menangkap pemandangan dimana seorang gadis berlari mengelilingi lapangan di tengah hujan deras. Tanpa menghiraukan seruan kasihan di sekelilingnya, dia melangkah memasuki area lapangan. Aksinya tersebut disambut heboh sekumpulan siswa-siswi yang melihat.
"Udah, Lin," sahut Gara mencegah si gadis berlari.
Sana menyentakkan lengan Gara kasar. Matanya menatap nyalang. Kembali berlari–lebih tepatnya, mencoba berlari sebisanya melawan rasa pening di kepala–tanpa mengucapkan sepatah kata pun.
Gara mengembus napas berat. Jika seperti ini, kalimat apapun akan sulit Sana iakan, olehnya sekali pun. Berbalik, kepalan tangannya mengeras menatap kertas bertuliskan, “saya bersalah karena sudah berani melawan kakak kelas dan berlaku tidak sopan” di punggung Sana. Lantas berjalan lebar mencabut kertas itu seraya sebelah tangannya yang lain menarik pergelangan tangan Sana. Tanpa ba-bi-bu, Gara menggeret pelan Sana keluar lapangan.
"Lepas," sanggah Sana berusaha melepaskan tautan tangan mereka.
Gara menulikkan pendengarannya.
"Lepasin!" lantang Sana menaikkan nada suaranya beberapa oktaf.
KAMU SEDANG MEMBACA
Escape From You [COMPLETED]
Teen Fiction[FOLLOW SEBELUM MEMBACA] Sana tak sadar jika dirinya telah menggali kenangan masa lalunya sendiri. Makin dia bertekad, makin dekat juga kenangan itu menyapa. Sayang, dia terlambat. Kini dia tak bisa mengembalikan waktu, karena sejak awal dia salah...