End

894 18 3
                                        

Saat ini Aidan dan keluarganya sedang diperjalanan menuju bandara Soekarno-Hatta. Laki-laki itu sudah mengambil keputusan untuk melanjutkan pendidikan di Harvard university—sesuai dengan apa yang ayahnya inginkan.

“Abang benar-benar sudah yakin sama keputusan ini?”

“Kalau Abang mau stay di Jakarta nggak apa-apa. Ayah tidak akan maksa Abang untuk pergi lagi.” Rayhan benar-benar merasa bersalah saat melihat raut wajah putranya yang lesu. Bukan maksud untuk menuntut putranya, tapi Rayhan hanya ingin yang terbaik bagi masa depan putranya disaat dirinya mampu untuk mewujudkannya.

“Abang sudah ambil keputusan ini, jadi Abang juga harus bertanggung jawab. Memang saat ini berat untuk Abang meninggalkan Indonesia, tapi Abang yakin, kalau sudah di sana, pasti perlahan akan terbiasa.”

Aidan berusaha menenangkan ayahnya yang merasa bersalah, lagipula semuanya sudah terlambat. Kalau saja ayahnya itu dari awal tidak terus memaksanya untuk pergi saat tahu bahwa disini dia sudah merancang masa depannya sendiri, Aidan juga tidak akan mengambil keputusan ini.

“Sudah sampai bandara, yuk turun semua!” Seru Izza menyela. “Nanti kalau di sana Abang harus sering telefon Adek loh ya, jangan lupa sama Izza.”

Aidan tersenyum tipis mendengar ucapan adiknya tersebut. Bagaimana mungkin Aidan melupakan tempat asal usulnya berasal, saat semua tujuan masa depannya ada disini—bahkan jika boleh jujur, sebenarnya setiap langkah yang ia ambil saat ini terasa berat.

Aidan pergi tidak sendirian, ia ditemani asisten pribadi ayahnya yang memang ditugaskan untuk tinggal disana dan menjaganya selama pendidikan. Wanda dari tadi menggenggam tangan kekar putranya—berusaha untuk memberikan semangat. Sebenarnya Wanda juga berat merelakan putranya pergi dengan waktu yang cukup lama, tapi semoga keputusannya kali ini benar. Wanda tahu, ada banyak alasan putranya tidak ingin pergi. keluarganya disini, sahabatnya disini, dan satu lagi, alasan terbesarnya adalah seorang gadis yang sudah lama Aidan kagumi juga tinggal disini.

Selama ini diam-diam Aidan selalu menunggu, menunggu bertahun-tahun untuk mengungkapkan perasaannya kepada seorang gadis pujaannya.

“Nanti pasti kita akan sering mengunjungi Abang disana. Abang disana harus semangat dan rajin kuliahnya, jangan malas-malasan, supaya cepat pulang ke Indonesia. Setelah itu, Abang bebas mewujudkan impian yang tertunda itu, dan tentunya dengan pribadi yang harus lebih baik dari sebelumnya.”

Aidan mengangguk dan balik merangkul bundanya. Aidan tahu bahwa semalam bundanya sudah berusaha keras untuk membujuk ayahnya, namun sayangnya tidak cukup kuat untuk menghancurkan keras kepala ayahnya.

“Sebentar ya, ada telfon masuk,” ucap Aidan kemudian melepaskan rangkulannya pada pundak bundanya dan membiarkan orang tuanya lebih dulu berjalan.

Rain☔✨

Nama itu terpampang jelas di layar ponselnya yang berdering. Dan hal itu berhasil mengusik hati Aidan, menyebabkan keraguan. Matanya tidak lepas menatap ponselnya, tapi sedikitpun tidak ada niat untuk Aidan menerimanya dan memberitahu tentang kepergiannya.

Panggilan pertama berhenti tanpa dijawab. Panggilan kedua juga masih sama. Tidak Biasanya gadis itu menelfon, apalagi  memborbardir dengan tiga kali panggilan sekaligus—ini pertama kalinya. Akhirnya setelah yakin, Aidan memutuskan untuk menjawab panggilan tersebut, takut terjadi sesuatu dengan gadis yang terus saja menelfonnya.

“Kenapa?”

Hanya kalimat tanya tanpa penjelasan yang terlontar dari bibirnya. Karena tidak langsung mendapat jawaban atas pertanyaan yang ambigu itu, Aidan menjadi lebih khawatir.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: May 05 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Untouchable RainTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang