Sada berpelukan erat dengan Bunda sembari menunggu kabar dari Abi. Beberapa kali Sada berusaha menghubungi Satya tetapi ponsel suaminya itu tidak aktif. Sada benar-benar merasakan ketakutan yang luar biasa, bahkan ketakutannya ini jauh lebih besar dari saat mendengar kepergian Satria setahun yang lalu.
"Duh, Abi kok lama banget teleponnya," ucap Bunda sambil memeriksa ponselnya yang ke sekian kalinya.
"Kalau kak Wira kenapa-napa gimana Bunda?" Tanya Sada. Mungkin saat pengajuan Sada bisa menjawab dengan baik jika dia sanggup menerima semua resiko pekerjaan Satya, namun nyatanya saat itu terjadi, Sada rupanya merasa berat dan belum siap.
"Kita tunggu kabar Abi ya?" Bunda menenangkan Sada. Bunda juga sama takutnya dengan Sada, tetapi harus ada salah satu diantara mereka yang tenang karena jika keduanya panik mungkin situasi akan lebih kacau lagi.
Dering ponsel Bunda mengalihkan perhatian mereka. Ada ketakutan jika memang benar Satya yang mengalami kecelakaan itu, tetapi juga ada harapan jika bukan Satya yang kecelakaan. Bunda menghela napas lalu segera menjawab telepon dari Abi dan mengaktifkan mode loudspeaker.
"Abi, gimana? Bukan Satya kan? Bukan anak kita kan yang kecelakaan?" Bunda langsung mencecar Abi dengan pertanyaan sebelum Abi membuka suara.
"Bunda tenang, beritahu Sada juga tenang. Korban kecelakaan itu hanya mengalami luka ringan karena berhasil menyelamatkan diri dan sekarang sedang di evakuasi, di bantu oleh nelayan sekitar. Dan korbannya bukan Satya, Satya sekarang lagi urus kecelakaan itu."
Bunda menghela napas lega, begitu pula dengan Sada yang tubuhnya mendadak lemas. Mbok Pia dan Mbak Ani yang juga berdiri di dekat mereka ikut menghela napas lega.
"Emang Satya gak bisa disuruh pulang aja, Bi? Ini aku sama Sada udah panik banget," tanya Bunda.
"Gak bisalah, Bun. Satya kan kaptennya. Nanti kalau urusannya sudah selesai, dia juga pulang. Ini Abi mau ke Polda dulu, nanti Abi hubungi lagi."
"Ya sudah, Abi hati-hati ya. Makan siang yang tadi Bunda kirimkan sudah dimakan kan?"
"Iya Bunda sayang, sudah Abi makan."
Setelah itu panggilan berakhir. Bunda menatap Sada yang masih diam lalu tangan Bunda menggenggam tangan Sada yang tidak sedingin tadi.
"Alhamdulillah ya Bu, bukan Den Satya," ucap Mbok Pia. Bunda menganggukkan kepalanya.
"Saya juga lega sekali, Mbok."
Bekerja dengan keluarga Satya sejak Satya masih kecil, Mbok Pia sudah sering sekali mendengar berita seperti ini. Akan tetapi walaupun sering rasanya tetap selalu menakutkan.
"Bunda mau ke kamar dulu, Sada masih mau di sini?" Tanya Bunda.
"Iya Bunda. Tapi Bunda gak apa-apa kan?"
"Bunda gak apa-apa, nak."
"Maafin Sada ya Bun, malah Bunda yang tenangin Sada," ucap Sada tak enak hati. Bunda tersenyum.
"Gak perlu minta maaf, Sada gak salah. Lagipula kalau kita berdua panik, pasti akan lebih kacau lagi," jawab Bunda. Bunda kemudian meninggalkan Sada yang masih terdiam di ruang keluarga. Mbok Pia dan Mbak Ani juga pamit ke belakang.
Sada memejamkan matanya sesaat, perasaan sudah jauh lebih tenang. Ponsel di genggaman Sada berdering membuat Sada kembali menegakkan tubuhnya dan mendapati panggilan dari Papinya.
"Halo Papi."
"Persada, ini saya."
Mendengar suara Satya membuat Sada tidak dapat membendung air matanya.
KAMU SEDANG MEMBACA
SERENDIPITY [SELESAI] ✅️
Romance[ Spin off Move On] "Rasa rindu yang paling menyakitkan adalah ketika kita merindukan seseorang yang berbeda dunia dengan kita. Hanya tercurahkan lewat doa disetiap sujud" -Persada Nastiti Aulia- "Rasa cinta yang paling menyakitkan adalah mencintai...