SERENDIPITY - 57

3.8K 613 71
                                    

Sada melihat makan siangnya tanpa selera. Makanan di depannya itu memang cukup menggiurkan, tetapi seperti biasa pasti rasanya hambar. Karena tekanan darah Sada tinggi, makanan yang diberikan untuk Sada pun tidak mengandung penyedap rasa.

"Kenapa mukanya kusut begitu?" Tanya Satya yang baru saja selesai membersihkan dirinya. Dua hari kemarin dia melaksanakan misi dan baru kembali siang ini.

"Aku kapan pulangnya sih kak? Aku capek makan makanan hambar terus tiap hari," keluh Sada.

"Kalau tekanan darahnya sudah normal kan sudah boleh pulang," jawab Satya. Sada berdecak sebal lalu menghela napas.

"Aku pengen nasi padang," ucap Sada dengan mata berkaca-kaca.

"Sembuh dulu," ujar Satya dengan lembut lalu dia menyicipi makanan yang dibawakan suster untuk Sada. Rasanya memang hambar, tetapi tidak buruk.

"Enak kok ini, memang hambar tapi gak buruk rasanya," komentar Satya. Sada menutup mulutnya dengan telapak tangan, menolak untuk makan.

"Buat kak Wira aja kalau gitu, aku makan buah aja," ujar Sada.

"Kamu gak sayang adik bayi?" Tanya Satya membuat Sada menurunkan tangannya.

"Ya sayang lah," jawab Sada.

"Kalau begitu makan. Yang butuh asupan makanan bukan hanya kamu. Adik bayi juga butuh. Cobalah bersikap gak egois, Persada," ucap Satya masih dengan intonasi lembut. Menghadapi Sada dengan hormon kehamilannya yang kadang bisa ikut membuat Satya gila memang perlu kesabaran ekstra. Jika mengikuti egonya, Satya mungkin sudah meledak oleh amarah sekarang. Tetapi Satya tahu betul, kemarahannya malah akan menimbulkan masalah baru. Jadi Satya memilih untuk menebalkan kesabarannya.

"Maafin aku."

Seperti dugaan Satya, Sada sudah terisak. Wajahnya sudah banjir air mata. Satya segera menyeka air mata Sada dengan telapak tangannya.

"Saya gak ada bentak kamu, Persada. Kenapa malah menangis?" ujar Satya.

"Aku egois jadi Ibu, cengeng juga. Aku kalau jadi kamu udah kesal banget pasti," ucap Sada. Satya tersenyum.

"Saya gak kesal kok. Sekarang mau makan? Saya suapin, mau?" Satya menatap Sada dengan sorot yang mampu membuat Sada meleleh.

"Tapi kalau sembuh aku boleh makan nasi padang gak?" Tanya Sada.

"Boleh. Apapun boleh, asal makanannya matang," jawab Satya lalu mulai menyuapi Sada.

"Janji ya?" Sada mengulurkan jari kelingkingnya sambil menatap Satya dengan wajah penuh harap.

"Harus banget?"

"Harus lah, kamu selama aku hamil ini banyak gak bolehnya. Janji dulu cepetan," ujar Sada. Satya menautkan jari kelingkingnya pada Sada dan hal itu membuat Sada tersenyum senang.

"Nanti kita tagih janji Yayah buat makan nasi padang ya, adik bayi," ucap Sada mengusap perutnya. Satya ikut mengusap perut Sada.

"Kamu cepat sembuh ya? Biar bisa cepat pulang," ucap Satya dengan tulus. Dia selalu tidak tega melihat Sada yang sudah beberapa kali opname sejak mereka kenal.

"Terus sidang kedua Zara lusa gimana ya, kak? Zara pasti sama kita terus kan?" Tanya Sada.

"Pasti. Bukti-bukti sudah dikumpulkan. Kamu gak usah ikut kepikiran ya? Fokus saja sama kesembuhan kamu," jawab Satya. Sada menganggukkan kepalanya lalu kembali menerima suapan Satya hingga tanpa sadar makanan yang tadi katanya hambar habis tak bersisa.

"Tuh kan habis, mindset kamu saja yang bilang gak enak," ucap Satya.

"Enak karena disuapin Yayah. Kalau aku makan sendiri, gak enak tahu," jawab Sada.

SERENDIPITY [SELESAI] ✅️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang