Rutinitas Sada kini bertambah, setiap jam 10 pagi dia akan menjemput Zara. Belakangan ini juga Sada belajar menyetir, mau tak mau dia harus mandiri walaupun masih belum memiliki keberanian untuk membawa kendaraan sendiri.
Pagi itu, setelah menyerahkan helm dari ojol, Sada memasuki halaman sekolah yang luas, tak jauh dari tempatnya terlihat segerombolan anak kecil, salah satunya Zara. Sada tersenyum ceria tetapi langkahnya seketika terhenti saat mendengar celetukan beberapa anak kecil itu.
"Ala beneran gak punya Mama?"
Wajah Zara terlihat sedih, dia menatap satu persatu teman-temannya yang menatap penasaran.
"Punya kok," jawab Zara.
"Mana?" pertanyaan itu terdengar meremehkan.
"Gak ada kan? Buktinya kita belum pernah liat Mamanya Ala tuh." Celetukan lain terdengar. Zara menundukkan kepalanya, dia mulai meneteskan air matanya.
"Zara!" Panggil Sada kemudian dia melangkah mendekat, Zara mendongak kemudian dia tersenyum lebar dan menyeka air matanya.
"Tante.." Zara menatap Sada dengan sorot penuh harap. Tatapan itu... Tatapan yang membuat hati Sada berdenyut nyeri. Bagaimana bisa anak sekecil ini mengalami kehilangan terbesar dalam hidupnya?
"Kok tante? Anak Ibu kenapa nangis?" Sada berjongkok di depan Zara lalu menyeka air matanya.
"Kalian penasaran ya sama Ibunya Zara?" tanya Sada menatap gerombolan anak perempuan yang menunjukkan ekspresi polos. Mereka mengangguk bersamaan.
"Tante ibunya Zara, gak penasaran lagi kan?" ucap Sada memasang senyuman manisnya.
"Ibunya Ala cantik, maaf ya Ala, aku pikir Ala gak punya Mama." Seorang anak perempuan mengulurkan tangannya, diikuti anak perempuan lainnya.
"Kalian belum dijemput?" tanya Sada.
"Mama kita di dalam tante, tadi dipanggil Bu guru."
Sada mengalihkan pandangannya pada Zara dengan penuh tanya.
"Kemarin Bu guru nyuruh orangtua ke sekolah, Bunda kan gak di rumah, Yayah juga sibuk, ncus kerja," ucap Zara. Sada memperbaiki jilbab Zara dengan gerakan lembut.
"Zara kok gak bilang sama Ibu? Yaudah, Ibu ke dalam dulu ya? Zara tunggu di sini sama temennya," ucap Sada kemudian dia beranjak berdiri menuju ruang guru.
Sada menghela napas kemudian dia mengetuk pelan pintu yang sedikit terbuka lalu mendorongnya, tatapan langsung tertuju pada Sada yang berdiri kikuk.
"Eh? Mbak? Ayo silakan masuk," ucap Ibu Silvy dengan ramah. Sada tersenyum lalu melangkah dengan ragu karena mendapat tatapan penasaran.
"Ini walinya Zara, ibu-ibu." Ibu Silvy mengenalkan Sada.
"Saya Persada, Bu. Walinya Zara, salam kenal," ucap Sada.
"Lho? Memangnya Ayahnya Zara udah nikah ya?" tanya seorang Ibu dengan rambut yang dikucir rapi, tatapannya juga terlihat mencemooh.
"Insya Allah beberapa bulan lagi, Bu. Mohon doa nya," jawab Sada dengan sopan. Dia belum memberi kepastian pada Satya tetapi dengan lancar mengikrarkan akan menikah beberapa bulan lagi.
"Baiklah ibu-ibu, jadi kita lanjutkan pembahasan tadi ya, oh iya mbak, bulan depan rencananya akan ada pentas untuk memperingati hari kartini," ucap Ibu Silvy kemudian Sada mendengarkan penjelasan Ibu Silvy. Beberapa wali murid juga memberikan masukan untuk acara nanti hingga pertemuan itu selesai 30 menit kemudian.
🌻🌻🌻
Satya tiba di rumah Bundanya saat Zara sedang menyantap makan malamnya ditemani pengasuhnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
SERENDIPITY [SELESAI] ✅️
Romance[ Spin off Move On] "Rasa rindu yang paling menyakitkan adalah ketika kita merindukan seseorang yang berbeda dunia dengan kita. Hanya tercurahkan lewat doa disetiap sujud" -Persada Nastiti Aulia- "Rasa cinta yang paling menyakitkan adalah mencintai...