Suara roda kereta yang melindas rel terdengar jelas, kemudian terdengar suara berdecit. Artinya sang masinis sedang menurunkan rem pada kereta apinya.
Seorang gadis yang sedang duduk sendiri di bangku yang ada di peron mengangkat wajah dari bukunya, memastikan bahwa itu kereta yang akan di tumpanginya.
Suara klakson kereta terdengar panjang. Gadis itu menutup bukunya, berdiri. Ia masuk ke gerbong yang paling dekat dengannya.
Gadis itu menoleh ke kanan dan ke kiri mencari bangkunya. Ia memasang headset yang sejak tadi mengalung di lehernya, mencoba mengabaikan tatapan orang orang yang mengarah padanya.
Ia melihat tiketnya, memastikan gerbong yang ia injak. Ternyata bukan di gerbong yang ini. Ia segera berjalan menuju gerbong yang tertera di tiketnya.
Gadis cantik itu bingung melihat bentuk gerbong yang berbeda dari gerbong sebelumnya. Di kanannya terdapat deretan ruangan yang tertutup rapat, ada sekitar lima pintu. Di kirinya langsung dinding kereta api, terdapat jendela yang langsung tembus ke luar.
Ia mendongak untuk melihat nomor ruangan ruangan itu.
Gotcha! Ia mendapatkan ruangannya. Gadis itu menggeser pintu, ia menatap sekitas. "Waah." Gumamnya. Ada dua sofa panjang yang berhadapan, ada meja yang terletak di antara keduanya. Banyak makanan dan minuman yang di sediakan di meja itu.
Ia kembali menutup pintu dengan rapat. Lalu menjatuhkan dirinya di sofa yang empuk. Meletakkan bukunya di atas meja.
Gadis itu melihat dinding kereta, ada tempelan namanya disana. 'Shani'.
"Hei Siri. Call Sisca." Ia memberi perintah pada asisten virtual yang ada di Ios-nya. Tersambung.
"Keren banget lo pesen bangku. Gue udah di gerbong." Ucapnya pada orang di seberang sana. Suara orang itu muncul dari headset yang masih terpasang di kepala gadis itu.
"Ini buat gue semua kan? Ruangan pribadi kan?" Tanya gadis itu.
"Ada cctvnya ga?" Tanya gadis itu sambil mengedarkan pandangannya pada setiap sudut kabin kereta.
"Thanks ya." Ia mengakhiri panggilan itu.
Gadis yang bernama Shani itu berdiri untuk menutup jendela. Kereta belum berangkat, jadi tak ada pemandangan yang bisa di lihatnya. Ia meraih ranselnya, meletakkannya di kompertemen yang ada di atas tempat duduknya.
Shani merogoh sakunya, mengambil sebuah bungkusan kecil yang di berikan oleh temannya. Isinya adalah serbuk yang katanya adalah perisa anggur.
Ia menuang sebotol air mineral ke dalam water heater yang di sediakan di kabinnya. Menyalakannya.
Kemudian ia mengambil sebuah gelas dan bubuk teh. Lalu menuangkan air panas ke dalam gelas itu. Ia menambahkan gula dan perisa yang di berikan oleh temannya.
Saat ia asyik mengaduk, seorang train attendant mengetuk pintu kabinnya. Shani menurunkan headsetnya, kemudian menggeser pintu. Ia memberikan tiketnya, mengucapkan terima kasih lalu kembali menggeser pintu, duduk.
Tangan gadis itu meraih gelas teh, mengangkatnya. Saat melihat asap yang mengepul, ia tidak jadi menyeruput tehnya. Takut jika lidahnya terbakar atau melepuh.
Gadis itu kembali memasang headsetnya. Meraih bukunya. Ia menaikkan kakinya ke atas sofa, menyandarkan tubuhnya di dinding kereta api.
Posisinya sangat nyaman dan damai. Ia tak sadar jika kereta sudah berangkat.
Ketika ia sedang sangat menikmati musik dan fantasinya ketika membaca buku, ada gadis asing yang menggeser pintunya. Gadis itu langsung menempatkan dirinya di sofa yang ada di hadapan Shani.
Shani bingung, ia menatap gadis itu dari atas sampai bawah. Gadis itu terlihat terengah engah. Shani membenarkan posisi duduknya. Ia mengintip jendela, kuda besi yang ia tumpangi sudah berangkat. Cuaca mendung, langit terlihat gelap.
"Gue haus, bagi ya." Gadis itu menyambar teh yang dibuat Shani tadi. Meneguknya. Shani menatap gadis itu dengan tatapan bingung, apakah tidak panas? Ah, mungkin sudah hangat. Suhu di kabin ini rendah.
Shani melihat gelas tehnya yang tersisa setengah, ia ingin melarang gadis itu, ia belum menyentuh tehnya. Tapi ya sudahlah. Shani tak enak hati untuk melarang. Bahkan ia tidak ada nyali untuk sekedar bertanya apakah gadis ini salah kabin? Atau dia adalah penumpang gelap. Entahlah, Shani memilih untuk kembali sibuk dengan bukunya.
Gadis asing itu terlihat haus lagi, ia kembali meneguk teh milik Shani, menghabiskannya. Ia merasa aneh. Tubuhnya seperti kenapasan, ia gelisah. Kemudian gadis itu menyambar botol mineral, meneguknya.
Sepersekian menit setelah ia merasa sedikit tenang, nafas gadis itu kembali terengah engah. Tubuhnya kepanasan, ia mengecilkan suhu pada pendingin kabin. Menyetelnya pada suhu terendah.
"Hei." Dengan suara yang sedikit bergetar, gadis itu menegur Shani yang terlihat cuek padanya.
"Hm?" Shani menoleh, ia menurukan headsetnya.
"Itu apa?" Gadis asing itu menunjuk gelas kosong yang berisi teh tadi.
"Teh rasa anggur." Jawab Shani. Ia menyadari ada yang aneh dari gelagat gadis itu. Shani menutup bukunya, ia memperbaiki posisi duduknya. Lalu ia meraih bungkus perisa miliknya, ia mencium bungkus kosong itu. Benar saja, memang ada yang aneh.
"Hei Siri, call Jinan." Shani memasang headsetnya.
"Lo ngasih gue apaan? Mati lo kalo ketemu gue." Shani berseru tertahan saat panggilan itu tersambung.
Gadis di seberang hanya tertawa, kemudian menanyakan apakah Shani sudah meminumnya.
"Apa tujuan lo ngasih begituan?" Shani menggeleng frustasi.
Gadis yang bernama Jinan di seberang bilang bahwa ia hanya bercanda. Ia tak bermaksud apa apa. Kemudian gadis itu meminta maaf, menawarkan dan menjanjikan apapun agar memaafkannya.
"Liat aja nanti, habis lo." Shani mengakhiri panggilannya. Netra indahnya menatap gadis asing yang duduk dengan gelisah di seberangnya. Sebuah meja menjadi alasan bagi jarak mereka. Tangannya bergerak untuk menurunkan headsetnya.
"Panas." Gadis yang duduk di depan Shani membuka outer yang di kenakannya.
"Sakit?" Tanya Shani khawatir. Ia ikut gelisah. Bagaimana ini.
"Engga. Tapi aneh." Gadis itu menggeleng.
"Nama lo?"
"Gracia." Suara gadis itu benar benar bergetar.
"Umur?"
"Sembilan belas."
Baiklah, setidaknya gadis ini bukan gadis di bawah umur.
Shani menarik nafasnya dalam dalam. "Punya pacar?"
Gadis itu sedikit bingung dengan pertanyaan Shani, tapi ia menggeleng. Shani juga sedikit kaget dengan jawaban gadis itu. Dia cantik, bagaimana bisa tidak punya pacar. Tapi ah sudahlah.
"Tolongin." Gadis itu menggenggam erat erat botol air mineral yang sudah habis di teguknya.
Gadis bersurai panjang yang menyewa kabin yang mereka tempati itu mengacak rambutnya. Ia mengusap kepala dengan kedua tangannya. Shani terlihat sangat frustasi sekarang. Ia berfikir, kemudian menggelengkan kepalanya dengan kuat. Berdecak.
Shani mengunci pintu kabin. Ia mengeluarkan ponselnya dari saku celananya kemudian melepaskan headset yang mengalungi lehernya, meletakkannya di meja.
Ia kembali duduk. "Sini." Shani menepuk pahanya. Ia merasa amat bersalah pada gadis ini.
Kini gadis asing itu sadar apa yang sudah di minumnya. Ia masih mencoba mengontrol tubuhnya, tapi ia sudah tidak sanggup. Ia membuang botol minuman yang berada di genggamannya. Shani menghela nafasnya, kasihan melihat gadis di depannya.

KAMU SEDANG MEMBACA
GRESHAN ONESHOOT
FanficFiksi. 21+ !! Hanya sekedar kumpulan cerita pendek dari Greshan. Bagaimanapun jalan ceritanya. Serumit apapun perjuangannya. Sejauh apapun jaraknya. Greshan akan berakhir bahagia.