39. Decision

37 4 0
                                    

Fira’s pov
14:00 WIB

Aku berada di halaman belakang dengan Tante Adelia yang kini menyuapiku tiramisu. Sejak kemarin aku mengurung diri di kamar dan tidak ingin bertemu siapapun, bergantian anggota keluargaku datang untuk menemaniku dan mengajakku bicara. Tapi hingga detik ini aku belum juga bicara. Karena itulah Tante Adelia mengajakku ke taman belakang, minum teh dan makan kue tiramisu buatan Nenek.

“Kau mau lagi? Tante ambilkan lagi jika kau mau.” Aku menatap Tante Adelia yang menatapku dengan senyuman.

“Tidak, Fira sudah kenyang Tante.” Tante Adelia terkejut, ia meletakkan piring kecil di meja dan mendekat ke arahku. Beberapa detik kemudian senyumnya mengembang dan ia menarikku ke dalam pelukannya.

“Akhirnya kau bicara juga, Fira. Semua orang sangat mengkhawatirkanmu.” Aku tersenyum dan memeluknya.

“Ah ya, Tante akan menelepon papamu dulu. Dia pasti senang kau sudah bicara lagi.” Tante Adelia mengambil ponsel yang terletak di meja, ia menempelkan ponsel di telinganya dengan senyuman lebar.

Aku menatap sekeliling, kenapa rumah jadi sepi? Kemana dua kakakku? Dan bagaimana Canny? Dia bilang akan datang sepulang sekolah kemarin. Hah, seharusnya aku tidak hanya menangis saja semalaman. Dia pasti datang dan mencariku, lalu Papa mengatakan padanya bahwa aku sedang beristirahat.

“Papamu akan pulang sebentar lagi.” Tante Adelia mengelus rambutku dengan elusan lembut.

“Tante, dimana Mas Alvin dan Mas Alvan? Aku tidak melihat mereka sejak kemarin.” Senyuman di wajah Tante Adelia luntur, ia tampak kebingungan sekarang ini. Tapi kenapa bingung?

“Hmm, mereka masih di kampus. Lihatlah, ini masih jam dua siang. Bukankah semester ini mereka sering pulang sore?” Aku tersenyum dan mengangguk saja, entah kenapa tiba-tiba saja aku merasa jauh dari mereka.

Hanya kedua kakakku itu yang tidak terlihat sejak kemarin. Keduanya bahkan tidak menelepon atau mengirim pesan padaku. Apa mereka tidak merindukanku?

“Fira!”

Aku dan Tante Adelia menoleh, senyumku mengembang saat melihat setidaknya empat temanku berlari ke arahku. Mereka adalah Hani, Ifano, Dino, dan si ketua kelas Rendy. Tante Adelia berdiri dan menyalami mereka semua, “Kalian teman-teman Fira ya? Sini duduklah, Tante akan buatkan minum ya.” Mereka mengangguk dan duduk mengelilingiku.

“Hey Fira. Bagaimana keadaanmu? Aku sangat merindukanmu.” Hani memelukku dan aku memeluknya juga.

“Sudah lebih baik. Ah ya, dimana Canny? Apa dia masih di ruang tamu?” tanyaku membuat senyuman mereka berempat luntur. “Kenapa? Sesuatu terjadi padanya?”

Ifano menelan ludahnya, “Sepertinya begitu, sejak kemarin Canny tidak masuk sekolah. Ponselnya tidak aktif, aku mengiriminya pesan sejak kemarin dan hasilnya masih centang satu saja.” Apa keadaannya baik-baik saja ya? Aku bahkan tidak bertemu dengannya sejak tindakan nekatku masuk ke gudang sekolah.

“Apa dia mengatakan alasannya?” Mereka berempat menggeleng.

“Tapi tadi aku mendengar sesuatu di ruang guru.” Kami berempat menatap Rendy, “Ku dengar salah satu kakak Canny tertangkap polisi.”

Hah?
Salah satu kakak Canny?
Canny tidak memiliki kakak selain Mas Alvin dan Mas Alvan kan?

Rendy menatap kami sendu, “Sayangnya aku tidak tahu alasannya. Kau tau sesuatu mengenai ini, Fira? Bukankah kedua kakak Canny kakakmu juga?”

Aku menggeleng, “Nanti aku akan bertanya pada Papa, dia pasti tahu.” Mereka mengangguk dengan senyuman.

Dino menepuk bahuku, “Fira, apa yang ku dengar benar? Kau akan pindah sekolah?” Hani, Ifano, dan Rendy menatapku sedih.

Second Love : The Last MessageTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang