Alvan’s pov
19:00 WIBSemua orang berkumpul di meja makan, termasuk Papa yang baru saja pulang sejam lalu. Aku dan Alvin memutuskan memasak nasi goreng untuk makan malam karena tidak ada bahan makanan. Sepertinya, rumah ini benar-benar membutuhkan sentuhan seorang wanita. Ah, rasanya jadi tidak sabar mencarikan istri untuk Papa.
Aku, Alvin, dan Fira sudah sepakat akan membahas mengenai masalah ini setelah makan malam. Semoga saja Papa mau membuka lembaran baru dalam hidupnya mengenai pendamping hidup.
Aku mendongak dan menatap Papa, “Pa.” Papa mengalihkan pandangannya ke arahku, “Apa kamera CCTV di rumah ini masih berfungsi?”
Papa menelan makannya, “Ya, semuanya masih berfungsi.”
Deg
Bagaimana jika Papa melihat kami bertiga yang masuk kamar di belakang? Tapi, jika Papa melihat kami seharusnya tidak setenang ini kan? Setidaknya Papa bertanya apa yang kami lakukan di kamar yang dihuni Pak Diman dulu.
“Siapa yang mengawasi? Bukankah kamar di belakang tidak ada penghuninya?”
Papa mengeluarkan sesuatu dari sakunya. “Papa yang mengawasi.” Aku memandang Alvin yang juga memandangku. “Apa kalian merasa tidak nyaman?”
“Ah, tidak. Di rumah Daddy juga ada kamera CCTV, jadi ya tidak masalah.” aku tersenyum pada Papa yang mengerutkan keningnya. Bagus, apakah Papa curiga sekarang?
“Papa sengaja masih memasang CCTV agar bisa mengawasi Fira selama di rumah.” Fira cemberut saat Papa memandangnya.
“Ya, Papa sering pulang terlambat dan aku maupun Alvan jarang kemari.” sahut Alvin menyendokkan nasi ke mulutnya.
“Itulah sebabnya. Papa tidak ingin sesuatu terjadi pada putri kecil Papa.” aku tersenyum melihat Papa yang mengelus rambut Fira dengan sayang. Aku mengalihkan pandanganku pada Alvin yang memandang interaksi keduanya dengan tatapan dingin.
Apa dia cemburu?
Bukankah dia sudah besar dan mengerti? Selama ini dia baik-baik saja saat Daddy mendahulukanku daripada dia. Contohnya mobil trooperku. Daddy membelikannya untukku, namun tidak untuk Alvin.
Dia baik-baik saja dan tidak mempermasalahkannya. Kemana ia pergi membawa mobil Mama, itu pun dia tidak protes. Lalu sekarang ia memandang Papa dan Fira seperti itu?
“Jika Papa tidak ingin terjadi sesuatu pada Fira, bukankah seharusnya ada yang menjaganya selama di rumah?” tanya Alvin membuat Papa mengerutkan keningnya.
“Bukan hanya menjaga, tapi juga mengurus.” lanjutku dengan senyuman manis.
Papa berdehem, “Papa sudah selesai makan.”
Fira membulatkan mata dan memegang lengan Papa, “Pa, duduk dulu. Kami belum selesai bicara.” Mau tak mau Papa menuruti Fira dan kembali duduk di tempatnya. Ya, sepertinya Papa sudah menyadari kemana arah pembicaraan ini.
“Jujur saja, Alvin tidak suka melihat Papa hidup seperti ini. Sama seperti Mama yang sudah mendapatkan kebahagiaan, Alvin mau Papa juga mendapatkan kebahagiaan.”
Papa menoleh ke arah Fira, “Fira, belajarlah di kamarmu. Bukankah kau bilang besok ada ujian?” Fira mengangguk patuh dan berjaln menuju kamarnya di lantai 2. Saat melewatiku, ia menatapku khawatir dan aku tersenyum padanya untuk menghilangkan khawatirnya dan seolah mengatakan padanya bahwa semua akan berjalan sesuai rencana. Fira mengangguk lemah dan berjalan dengan gontai.
Papa menatap kami berdua lekat-lekat, “Papa hanya tidak ingin mengulang kesalahan yang sama. Papa tidak ingin menyakiti siapapun, sudah cukup Maya dan Ralia.”
KAMU SEDANG MEMBACA
Second Love : The Last Message
عاطفية"Enough, Alvin! Sudah cukup dengan semua ini!" Malvani Syafi'i Ralindra. "No, Alvan. No one can stop me, meskipun itu kau." Malvino Syafawi Ralindra "So, i must do this to take care of mine?" Canberra Farnaz Azra Alfarizi. "If you can't be mine...