16. Past Fragments

2.9K 254 81
                                    

Alvan’s pov

“Keluargamu sangat hangat,  Alvan. Kau pasti senang berada dalam lingkungan seperti itu.” Aku menoleh ke arahnya sekilas sebelum kembali melihat ke jalanan. Sekarang aku mengendarai mobil untuk mengantarnya pulang, mengingat ini sudah malam dan aku tidak mungkin membiarkannya pulang sendirian.

“Begitulah.”

Marissa terlihat senang berinteraksi dengan Mama dan ketiga adikku.  Berteman cukup dekat dengannya membuatku tahu bagaimana keadaan keluarganya. Marissa adalah anak tunggal, kedua orang tuanya sibuk bekerja hingga larut malam sehingga tak banyak memiliki waktu dengannya. Dia selalu merasa kesepian, untuk itu dia lebih banyak menghabiskan waktu dengan teman-temannya dan tidak ingin sendirian saja di rumahnya.

“Ah ya, aku sangat menyukai Canny. Dia sangat manis dan menyayangi kedua adiknya.”

Aku tersenyum dan mengangguk setuju dengannya. “Aku tidak menyangka dia cukup bertanggungjawab dan mengambil peran. Aku merasa bersalah telah berpikiran buruk tentangnya. Ku pikir dia akan cemburu karena sekarang lebih banyak memperhatikan twin baby daripada dirinya.”

“Tapi kenyataannya tidak kan? Canny cukup dewasa dalam menyikapi ini.” Marissa tersenyum dan menunduk, kenapa dia berubah sedih?

“Jujur saja, aku iri denganmu yang memiliki orang tua penuh kasih sayang dan perhatian. Dan lagi, kau memiliki banyak saudara yang membuat rumahmu ramai.”

Ia menghela napas panjang dan memainkan jarinya,  “Andaikan aku memiliki saudara, aku tidak akan merasa kesepian saat di rumah. Sayangnya Mama dan Papa tidak mau memberiku adik. Mereka beranggapan memiliki banyak anak akan kerepotan. Padahal yang mengurusku sejak bayi adalah pengasuh.”

Marissa terkekeh, “Aku bahkan tidak ingat kapan terakhir kali Mama menggendongku atau menyuapiku. Sampai detik ini aku berpikir, kenapa mamaku tidak bisa seperti mamamu yang menganggap anak lebih penting dari pekerjaan?”

“Hey, mungkin saja mamamu memiliki alasan lain yang tidak bisa diceritakan padamu. Kau tahu, tidak baik berpikiran buruk mengenai orang tua kita.” Ia tidak menjawabku, hanya menghela napas panjang beberapa kali. “Hmm, apa kau senang menghabiskan waktu bersama keluargaku?”

Marissa menoleh ke arahku dengan senyuman lebarnya, “Tentu saja.”

“Datanglah lebih sering, Mama pasti senang ada pengasuh tambahan untuk Amar dan Amara.”

“Oke, aku akan datang lebih sering ke rumahmu. Bermain dengan mereka berdua ditambah Canny sangatlah menyenangkan.” Aku tersenyum lebar dan menatapnya sekilas, sykurlah dia menyukainya.

Mobil yang ku kendarai berhenti tepat di depan sebuah rumah yang cukup besar. Sepertinya tidak ada orang di rumah karena masih gelap. Marissa menatap rumahnya dengan wajah sedih, “Ya, seperti dugaanku mereka pasti belum pulang. Terima kasih, Alvan.” Ia turun dari mobilku.

“Sama-sama.”

“Hati-hati di jalan.” Ia melambaikan tangannya padaku dengan senyuman lebar.

Aku melambaikan tanganku juga sebelum mobil yang ku kendarai meninggalkan rumahnya. Sebenarnya ada rasa tidak tega meninggalkan Marissa seorang diri di rumahnya yang besar itu, tapi bagaimana? Hal seperti ini pasti sering terjadi dan dia bisa melindungi dirinya sendiri.

Aku benar kan?

Mataku tertuju pada mini market yang letaknya tak jauh dari rumah Marissa, bagaimana jika aku membeli beberapa coklat untuk Canny? Dia pasti senang! Dan ya aku akan membeli beberapa untuk Mama. Ku matikan mesin mobil begitu terparkir sempurna dan bergegas turun.

Second Love : The Last MessageTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang