15. Truth

2.8K 238 17
                                    

Alvin’s pov

Suara tawa menggema mengisi ruangan VIP di kedai es krim milik Mama. Aku menghela napas panjang memandang Papa yang tertawa bersama Tante Adelia, tantenya Marissa. Awalnya aku merasa kencan buta ini tidak akan berhasil karena penolakan Papa dan sifat Tante Adelia yang tertutup.

Namun, kekhawatiranku dan Alvan lenyap begitu saja ketika keduanya larut dalam pembicaraan mengenang masa-masa SMA. 

Kali ini aku percaya dengan anggapan orang mengenai betapa sempitnya dunia ini. Jadi, Papa dan Tante Adelia satu sekolah saat SMA dulu. Tapi entah kenapa dalam pembicaran mereka seperti menyiratkan tentang masa lalu mengenai percintaan. Apakah mereka dalam hubungan yang seperti itu?

Ah, mengenalkan Papa dengan Tante Adelia adalah rencanaku, Alvan, dan Marissa. Seseorang yang menyukai Alvan ini bercerita mengenai tantenya yang bercerai sejak lama dari suaminya. Ia merasa sedih untuk tantenya yang menghabiskan hidupnya hanya seorang diri saja.

Marissa tak mengerti kenapa tantenya itu tidak menikah lagi, malah terkesan tantenya itu menikmati kesendiriannya.

“Jadi, ini putra keduamu dengan Maya?” Kami bertiga terkejut dengan pertanyaan yang dilontarkannya. Apakah Tante Adelia ini tidak pernah membaca berita atau bagaimana? Sungguh, pertanyaannya ini menyinggungku. Bagaimana bisa dia menanyakan hal seperti itu?

“Bukan, Adelia. Mereka berdua putraku dengan mantan istriku, Ralia.”
Tante Adelia membulatkan kedua matanya, ia menatapku dan Alvan dengan wajah tidak enaknya. “Maaf, maaf. Aku tidak tahu.”

Alvan tersenyum, “Tidak apa-apa, Tante. Santai saja, namanya juga tidak tahu.” Tante Marissa menatapku, aku tersenyum dan mengangguk tanda setuju dengan Alvan. Jika dipikir-pikir benar juga, Tante Adelia memang tidak tahu.

“Tidak apa, Tante.” Tante Adelia tersenyum dan mengangguk.

Aku menatap Alvan dan memberinya kode. “Ah ya, bukankah tadi kita bertiga mau belajar menyajikan es krim? Ayo sekarang saja!” Aku, Alvan, dan Marissa segera berdiri dan meninggalkan dua orang yang sedang kebingungan itu.

Kami bertiga berjalan menuju dapur, sepanjang jalan para karyawan membungkuk ke arah kami. “Hmm, apa hanya aku yang merasa bahwa ada sesuatu dengan keduanya di masa lalu?” aku menoleh ke arah Marissa.

“Ah iya, dari tatapan mata Papa dan Tante Adelia. Terlihat jelas ada sesuatu yang telah terjadi.”

“Apa mungkin Tante Adelia mantan kekasih Papa?” Marissa dan Alvan menatapku dengan kedua mata membulat sempurna. “Aku melihat kerinduan di kedua mata mereka. Jika mereka hanya teman, bukankah pandangan seperti itu agak berlebihan?”

“Benar juga.”

Alvan menyipitkan matanya, “Aku akan bertanya pada Papa nanti.” katanya sebelum melenggang masuk ke dapur, Marissa mengerdipkan sebelah matanya ke arahku dan mengekori Alvan. Jangan lupakan senyuman lebar yang tersemat di wajahnya. Ingin sekali aku menertawakan Marissa atas pembicaraan kami beberapa hari lalu.


Flashback

Aku dan Marissa duduk berdua saja di kelas kosong, kami menunggu Alvan yang masih sibuk dengan kegiatan ekstranya. Selain itu, Marissa bilang ada yang ingin dia katakan padaku. “Jadi, apa yang ingin kau bicarakan?” Marissa menatapku dengan wajah sedihnya, kedua mata sembabnya terlihat jelas. Apakah dia banyak menangis? 

“Aku menyerah.” Dengusanku terdengar, aku bosan mendengar dua kata itu keluar dari mulutnya. Pasalnya dia mengatakan ini tidak hanya sekali dua kali, tetapi sudah ratusan kali.  Dan setelah dia mengatakan ini padaku, besoknya diam kembali ceria dan mengatakan tetap memperjuangkan perasaannya.

Second Love : The Last MessageTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang