7. Smile please, Alvan

3.1K 248 33
                                    

Alvan’s pov
-Al Fazza University-
14:00 WIB

“Emma memutuskan menjadi biarawati.”

Suara Jessica masih saja terngiang di telingaku, sampai detik ini aku masih mencerna apa yang baru saja terjadi. Menjadi biarawati berarti dia tidak akan menikah seumur hidupnya. Kenapa dia memutuskan hal sebesar itu? Apa artinya tak ada jalan keluar untuk hubungan kami? Apakah saat itu dia tidak serius mengatakannya? Jadi ini alasannya dia menghilang dan bahkan mengganti nomor teleponnya?

Beberapa minggu kepindahanku ke Indonesia kami masih sering berkomunikasi. Kami saling bertelepon dan berkirim pesan, kami juga saling bercerita mengenai apa yang terjadi di hari itu. Lama kelamaan Emma jarang membalas pesanku dan tak lagi mau mengangkat teleponku, ia bilang sedang sibuk dengan tugas-tugas kuliahnya. Hingga akhirnya dia tak pernah lagi membalas pesanku dan ternyata ia mengganti nomor teleponnya.

“Minumlah.” Alvin meletakkan soda dingin ke bangku yang ku duduki. “Aku tahu kau sedang membutuhkan ini sekarang.” ia mengangkat kaleng sodanya miliknya, dengan malas aku mengangkat kaleng soda dan bersulang sebelum meminumnya.

Ya, beginilah kebiasaan kami saat salah satu dari kami atau bahkan kami berdua bermasalah. Soda. Air berkarbonasi dengan kandungan zat gula tinggi nyatanya mampu membuat kami merasa lebih baik. Alasan lain, karena kami tidak bisa meminum bir dan semacamnya.

“Ku pikir kau tidak akan sesedih ini saat mendengar kabar tentang Emma. Mengingat kalian memang dekat, tapi tidak sedekat itu.” Aku memandang Alvin yang meneguk sodanya.

“Aku juga tidak menyangka hatiku hancur mendengarnya.” Aku menghela napas panjang. “Kenapa kabar tadi melenyapkan semangat hidupku?” Alvin tidak mengatakan apapun, dia menepuk bahuku beberapa kali.

“Mungkin aku yang egois, aku menginginkan Emma seperti Jessica. Aku bahkan tidak melakukan apapun untuknya.” Aku terkekeh menyadari pemikiran konyolku.

“Semua yang dikatakannya hanya omong kosong saja kan? Emma tidak benar-benar menyukaiku.”

Alvin menghela napas panjang, “Kita tidak tahu alasan kenapa dia memilih menjadi biarawati, Alvan. Kita semua tahu Emma adalah umat Katolik yang taat, selama ini hanya dia yang tidak pernah melewatkan ibadah dan selalu membawa Alkitab dalam tasnya. Perkataan Emma tentang perasaannya itu benar adanya, dia sadar tembok yang menghalangi kalian sangat tinggi.”

“Ya, Emma sangat mencintai Tuhannya.”

“Begitupun kau. Melihat kau seorang muslim yang taat, membuat Emma pesimis. Salah satu diantara kalian tidak ada yang mengalah.” Aku menatap Alvin yang menatapku. Bukan kesedihan dalam matanya sekarang, tapi kekhawatiran. “Aku yakin keputusan Emma ini sudah dipikirkan matang-matang.”

“Aku tetap tidak bisa menerimanya. Kenapa dia tidak menceritakan padaku alasannya? Setidaknya dia mengatakan sesuatu sebelum menghilang dan tidak membalas pesan-pesanku. Sungguh, aku hanya ingin bicara dengannya sekali saja. Setidaknya aku tahu kenapa dia memilih menjadi biarawati.”

#

Alvin’s pov
18:00 WIB

Aku menghela napas panjang melihat adik kembarku yang sekarang asyik merenung di kamarnya. Kabar mengenai Emma telah membuat Alvan yang ceria berubah menjadi Alvan yang pemurung. Semenjak keduanya tak lagi saling komunikasi karena Emma yang menghilang begitu saja, Alvan tak lagi seceria dulu. Dan sekarang keceriaannya telah hilang sepenuhnya. Sejak tadi aku berusaha menghiburnya, tapi tidak berhasil sama sekali. Kesedihannya tak berkurang sedikit pun.

“Dia masih sedih?” aku menoleh ke arah Daddy yang berada di sampingku, aku mengangguk.  Daddy menatap sendu Alvan yang bahkan tak menyadari kehadiran kami.

Second Love : The Last MessageTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang