22. Submission

2.6K 238 48
                                    

Alvan’s pov
-Raliazril’s house-
11:00 WIB

“Semua sudah berakhir, Alvan. Hapus perasaanmu padaku dan buka hatimu untuk orang lain. Kau berhak bahagia dengan seseorang yang berjalan di jalan yang sama denganmu.”

Bahkan hingga detik ini aku masih tidak mengerti dengan Emma, kenapa dia mengorbankan dirinya demi cintanya padaku? Hal yang paling tak masuk akal adalah dia yang meminta bahagia dengan yang lain, tetapi dia malah memutuskan tidak bersama laki-laki lain seumur hidupnya. Ini benar-benar tidak adil untuknya, seharusnya dia bisa move on dan bahagia dengan yang lain.

Ceklek

Aku menoleh ke arah pintu yang terbuka, Mama masuk ke dalam kamarku dengan Amar dalam gendongannya. “Sayang, segeralah bersiap. Kau harus pergi sebentar lagi.”

Aku menggeleng dengan bibir mengerucut, “Tidak mau. Alvan mau di rumah saja.” Sebenarnya aku sedikit kesal, sejak beberapa hari lalu orang-orang rumah mengajakku keluar dengan berbagai macam alasan. Apa mereka tidak mengerti aku ingin sendirian saja dan tidak ingin diganggu siapapun?

“Tidak sayang, kau harus pergi. Seseorang telah datang menjemputmu dan kalian akan menghabiskan waktu bersama. Mau tidak mau kau harus pergi dengannya.” Mama menatapku dengan wajah tegas tanda aku tidak boleh membantah ucapannya. Baru saja mulutku terbuka hendak bertanya siapa yang datang, seseorang muncul di depan pintu.

“Papa?”

Papa tersenyum dan menatap Amara yang berada dalam gendongannya, “Lihatlah Amara, Mas Alvan belum juga mandi. Kalah ya dengan Amara yang sudah wangi ini.”

“Ayo mandi dan bersiaplah sayang. Kau akan pergi dengan Papa.”

“Ya, kita berdua akan pergi ke semua tempat yang ingin kau kunjungi. Kemanapun yang putra Papa inginkan.” Aku menelan ludah melihat mereka berdua menatapku dengan penuh harap. Tegakah aku mematahkan harapan mereka?

Tentu saja tidak.

Menghabiskan waktu berdua saja dengan Papa adalah kesempatan yang langka. Papa sibuk dengan Fira yang mana anak bungsunya dan jarang sekali quality time denganku dan Alvin. Mana mungkin aku melewatkan kesempatan ini begitu saja?

Baiklah, tidak ada salahnya bangkit dari keterpurukan dengan bantuan orang-orang yang kau sayangi Alvan. Aku merasa bersalah sekarang, mereka semua mencoba membantuku agar bangkit dari keterpurukan lalu aku malah merasa kesal dengan perhatian mereka.

Hah, setidaknya mereka tahu apa yang terbaik untukku dan memahami apa yang ku rasakan saat ini. Mereka juga memahami bagaimana hati Alvan dan cara mengatasinya, bahkan melibatkan Papa dalam hal ini. 

Aku menghela napas panjang dan menatap kedua orang tuaku, “Baiklah, Alvan akan mandi dan bersiap.” Mama dan Papa saling pandang dan melempar senyum, sejujurnya hal ini membuatku senang. Hubungan keduanya semakin baik sejak makan malam setahun lalu, sekarang semuanya baik-baik saja dan hidup kami sempurna.

#

Author’s pov

Marissa meletakkan tiga gelas orange squash dan beberapa camilan berisi emping dan  opak gambir dalam toples di meja ruang tamu dengan ogah-ogahan. Bukan tanpa alasan, Marissa sengaja mengeluarkan camilan itu agar tamu yang tidak diharapkannya segera pulang karena tidak nyaman.

Ia menatap seseorang dengan pakaian khas biarawati dan menghempaskan tubuhnya tepat di sebelah Jessica yang masih saja sibuk memakan kue putri salju.

“Langsung saja, kenapa kau datang kemari? Mendatangi sainganmu langsung ke sangkarnya adalah tindakan yang cukup berani.” Jessica hanya menggeleng mendengar kalimat sarkas yang dilontarkan Marissa pada Emma.

Second Love : The Last MessageTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang