Alvin’s pov
15:00 WIBKu rapikan poni yang ku tata ke atas sehingga membentuk sebuah jambul, otomatis membuat dahiku terlihat. Ini kali pertama aku memperlihatkan dahi yang selama ini ku sembunyikan dengan poni.
Aku sengaja menata rambutku sedemikian rupa karena hari ini adalah hari special untuk Papa. Selain itu, hari ini juga merupakan hari yang penting bagiku. Hari dimana akhirnya aku akan menarik pelatuk pistol yang selama ini ku pegang.
Ponselku berbunyi, tanganku terulur mengambil benda persegi panjang itu di meja. “Semuanya sudah siap, Tuan Muda. Tinggal menunggu perintah dari anda.”
Aku menatap ke arah cermin yang memantulkan wajahku, smirk yang ku tunjukkan menggambarkan betapa jahatnya aku sekarang ini. Alvin yang ceria sudah lama mati bahkan sejak aku berusia lima tahun, dan sekarang inilah Alvin yang baru.
Si jahat yang membalaskan dendam pada istri pertama ayahnya melalui adik tirinya sendiri. “Aku akan mengirimkan pesan padamu nanti.”
“Baik, Tuan Muda.”
Telepon terputus, smirk yang ku tunjukkan berubah menyeramkan dengan tatapan mataku yang dingin. Aku benar-benar seperti tokoh psikopat dalam film-film, setidaknya menurutku.
Seperti yang ku singgung tadi, hari ini merupakan hari dimana aku melakukan kejahatan yang terakhir pada anak itu.
Ya, kejadian puncak atas pembalasan dendamku akan terjadi hari ini.Hari ini juga mungkin menjadi hari terakhir bagiku merasakan kehangatan keluarga, baik itu dari keluarga Papa maupun keluarga Mama. Tentu saja aku masih mengingat pembicaraanku dengan Mama, pengampunan hanya satu kali untuk kesalahan yang sama.
Artinya setelah Mama dan Daddy mengenai ini, mereka akan mengusirku juga dari rumah dan menghapusku dari daftar anggota keluarga.
Memikirkan itu membuatku sedih, aku pun tidak tahu apakah bisa melihat si kembar kecil tumbuh besar. Tapi, aku tidak akan mundur. Rencana yang sudah ku buat matang-matang harus berjalan lancar dan sukses.
Kehilangan keluarga adalah harga yang harus ku bayar atas kejahatan terbesarku ini.
Aku berbalik dan keluar dari kamar, dengan riang ku langkahkan kakiku menuju ruang keluarga dimana sudah ada Papa dan Alvan. Mereka berdua memakai kemeja dengan motif sama dengan yang ku pakai ini, warna hitam untukku, merah marun untuk Alvan, dan biru tua untuk Papa. “Semuanya sudah siap?” tanya Papa dengan senyuman lebarnya.
Alvan merangkulku, “Sudah, sekarang kita berangkat. Ah ya, kita jemput Fira dulu.” Mendengar nama itu membuat jantungku berdetak cepat, aku menatap Papa dan Alvan bergantian.
Tanganku terulur memeluk mereka berdua, keduanya sempat terkejut tapi untungnya mereka membalas pelukanku.
Inilah pelukan terakhir antara Alvin, Alvan, dan Papa.“Ayo berangkat! Kita bisa terlambat! Belum lagi menunggu Fira berdandan.” Alvan beringsut membuat pelukan kami terlepas, ia dengan semangatnya membawa baju ganti untuk Fira dan beberapa barang bawaan untuk Tante Adelia.
“Papa.” Papa mengalihkan pandangannya ke arahku, “Selamat ya Pa, Alvin sangat bahagia untuk Papa. Setelah ini hanya ada kebahagiaan untuk Papa.” kening Papa berkerut mendengar perkataanku.
“Kak Alvin-”Aku memeluk Papa sangat erat, aku tahu ini akan menjadi pelukan yang terakhir. “Alvin sayang Papa, selalu.”
“Papa juga, Nak. Papa juga selalu sayang Kakak Alvin.” Kami saling menatap dengan senyuman, inikah terakhir kalinya aku melihat senyuman Papa yang ditunjukkannya padaku?
Maafkan Alvin, Pa.
Alvin sayang Papa.“Ayo, Nak.” Aku mengangguk, kami berjalan beriringan menuju mobil di halaman. Tanganku terulur mengambil ponsel di saku celanaku, ku buka aplikasi pesan instan dan mengirimkan pesan pada seseorang.
KAMU SEDANG MEMBACA
Second Love : The Last Message
Romance"Enough, Alvin! Sudah cukup dengan semua ini!" Malvani Syafi'i Ralindra. "No, Alvan. No one can stop me, meskipun itu kau." Malvino Syafawi Ralindra "So, i must do this to take care of mine?" Canberra Farnaz Azra Alfarizi. "If you can't be mine...