[Dentama Family] Bayi itu cepet gede

265 21 5
                                    

Johan harusnya tidur dan malam ini adalah bagian istrinya bergadang. Namun, Johan merasa lebih baik tidak membangunkan istrinya.

Johan melihat ke box bayi dimana mata kecil Lio kini terbuka, tubuh kecilnya sedikit menggeliat membuat Johan tersenyum.

"Pinter ya, ga nangis." Johan mengusap pipi lembut Lio. Bayi memiliki suara yang khas dan itu terdengar menakjubkan bagi Johan.

Ia belajar bahwa penglihatan bayi sebelum 3 bulan itu tidak terlalu jauh sehingga jika ingin Lio melihatnya, ia harus mendekatkan wajahnya.

Johan mengangkat tubuh kecil Lio dengan tanganya, bahkan ukuran kepalanya dengan telapak tanganya lebih besar telapak tanganya.

"Anak papah, mau mimi susu?" ucap Johan yang mendekatkan wajah Lio dengan wajahnya. Johan kemudian mengecup kening putra kecilnya.

Johan ingin menggendong terus bayi kecilnya, tetapi ia merasa belum begitu terampil.

"Bentar ya, papah buatin susu." Johan menempelkan hidung kecil Lio dengan hidungnya lalu meletakan kembali tubuh kecil Lio di kasur.

Johan baru beberapa langkah dari box bayi Lio, suara rengekan Lio terdengar. Bersamaan dengan itu ternyata Yoland terbangun.

Dengan suasana sedikit remang-remang, walau samar, tetapi Yoland yakin Johan sedang tersenyum ke arahnya.

"Udah kamu bobo aja, Lio biar aku yang urus," ucap Johan agar istrinya istirahat kembali.

"Kan sesuai perjanjian, masa kamu begadang 2 hari berturut-turut?" Yoland turun dari kasurnya, ia menghampiri Lio lalu mengangkat bayi kecil itu dengan hati-hati.

"Pagi sayang," sambil menggendong Lio, ia mendekati Johan yang kini setengah jalan menuju tempat membuat susu.

"Jangan ambil yang di kanan, itu ASI pagi soalnya." Johan melirik istrinya, ia sedikit bingung apa beda ASI pagi dan malam.

"Emang beda ya?"

"Beda dong," Yoland menepuk punggung lebar suaminya. Ia merasa sang suami meremehkan tentang ASI.

.

.

.

Lio terlihat bermain dengan ibunya, suara khas bayi mungil membuat Johan yang baru selesai membuat susu penasaran dengan apa tingkah baru putra kecilnya.

Johan naik ke atas kasur dan mendekat ke istrinya, ia melihat Lio tersenyum. Walau wajah bayi bisa berubah-ubah, entah kenapa Johan yakin jika Lio akan mirip dengan istrinya.

"Kerjaan dia cuma tidur, susu, bab, kapan gedenya ya?" tanya Johan sambil menyentuh pipi Lio.

"Nanti kalau dia udah bisa lari kamu yang pusing loh." Yoland memperhatikan suaminya, Johan terlihat ingin menggendong Lio dan memberikan susu.

Yoland akhirnya membiarkan Johan untuk melakukanya. Johan terlihat senang, ia meletakan dulu botol ASI Lio lalu menerima tubuh kecil Lio di tanganya dengan hati-hati.

"Kenapa ASI pagi sama malem beda?" tanya Johan kini sambil memberikan ASI di botol pada Lio.

"Manusia kan punya hormon yang memicu jadi buat tidur, tapi sampai sekitar 3 bulan bayi itu ga punya. Di ASI itu udah ada bawaan hormon dibutuhin bayi , makanya aku selalu catet kapan aku merah ASI kan?"

"Owh, aku baru tau, kukira kamu emang rajin aja." Johan tersenyum, ia lalu melihat Lio yang dengan lahap menghisap botol susunya.

"Itu kenapa ngasih asi juga ga sembarangan?"

"Maksudnya?"

"Itu, waktu kamu donor ASI dulu, kayaknya kamu kasih kriteria cuma bisa bayi cewe dan di rentang umur tertentu."

Yoland mengangguk mengerti pertanyaan suaminya.

"Soalnya anak kita yang ga ada kan cewe, kandungan ASI di ibu melahirkan anak cewe sama cowo itu beda, makanya lebih baik dengan kriteria sesuai, kandungan ASI juga kan menyesuaikan umur bayinya."

.

.

.

10 bulan berlalu,

Lio kecil mengejar burung gereja yang ada di halaman rumahnya. Anak 1 tahun itu berusaha mendapatkan satu ekor burung walau hanya menjadi impian saja.

Lio menunjuk burung gereja yang terbang lalu menangis, membuat Johan harus langsung menggendongnya.

"Buyung," ucap Lio sambil menangis, Johan ingin tertawa tetapi juga kasihan dengan putranya.

"Entar papah beliin."  Lio akhirnya berhenti menangis, mata kecilnya yang masih merah saat ini tertuju pada Ciko yang berjalan ke halaman rumahnya dengan Joddy di belakang.

Ciko membawa kardus berisi 3 ayam kecil dengan warna berbeda membuat Lio ingin melihat lebih dekat. Lio sepertinya tidak sadar ada Joddy, padahal biasanya ia akan malu jika ada Joddy.

"Papah," Lio menarik celana Johan, putranya seperti menginginkan ayam tersebut.

"Beli dimana lu jod?" Lio sekarang baru sadar jika ada Joddy, bayi kecil itu segera memeluk lutut Johan.

"Masa masih malu sama om? Hei, Minggu kemaren kan kita main bareng," ucap Joddy merasa Lio sepertinya lupa jika Minggu lalu mereka bermain bersama.

Joddy berjongkok sambil mencolek anak kecil yang berusaha bersembunyi.

"Muka lu serem sih." Joddy kembali berdiri dan menatap Johan dengan wajah seolah tidak terima.

"Wah rese emang ya lu!" Ciko menyentuh Lio dan mengajaknya pergi dari sana sambil membawa ayam dalam kardus.

Lio menuruti Ciko dan pergi, Karena dua anak kecil ini pergi menuju teras rumah, Johan serta Joddy memandang keduanya dari jauh.

"Perasaan masih kemaren dia masih lebih kecil dari telapak tangan gue." ucap Johan merasa putranya cepat bertumbuh.

"Besok mungkin mereka bakal lebih tinggi dari kita." Johan melirik Joddy.

"Kalau Lio lebih gede dari elu kayaknya agak ngeri."

"Lu ngajak berantem ya?!" Joddy langsung menginjak kaki Johan tentu saja Johan tidak terima dan berniat menendang pantat Joddy.

Lio mengeluarkan bayi-bayi ayam tersebut yang kini masuk ke dalam rumah. Tentu saja Ciko serta Lio segera mengejar mereka.

Ayah dan anak ini saling sibuk masing masing

Short storyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang