Pendekar dan Dzulfikar

35 3 0
                                    

"Jadilah seperti bunga yang memberikan keharuman bahkan kepada tangan yang telah merusaknya."

-Ali bin Abi Thalib

*
*
*

3 tahun kemudian.

Aku terdiam menatap Abigail pagi itu. Hari ini akhir pekan yang membuat banyak orang tampak berlalu lalang dan meluangkan waktunya untuk berjalan-jalan dan menikmati kosongnya jadwal hari ini. Tampak terlihat indahnya senyuman Abigail saat kami duduk di salah satu bangku taman hingga seseorang datang di antara kami.

"Assalamualaikum," sapa Dhaniya bergabung dengan kami.

"Waalaikumsalam," balas kami bersamaan.

"Saudah doesn't come?" tanya Abigail dengan sikap cerianya seperti biasa.

"She has her own business, tapi dia menitipkan salam kepada kalian."

"عليك وعليها السلام ورحمةالله وبركاته"

Balasku pelan.

"Zhafira, kenapa jawaban salamnya berbeda?" tanya Abigail yang kubalas dengan senyuman pelan.

"Ketika kamu menjawab Waalaikumsalam maka itu bermakna semoga Allah juga melimpahkan keselamatan bagimu. Tapi jika seseorang yang menitipkan salam, kita menjawabnya dengan kata yang tadi kusebutkan dimana itu bermakna semoga Allah memberimu dan memberinya keselamatan."

Abigail mengangguk memahami seakan ia menemukan hal baru dalam hidupnya. Kami sempat mengobrol tentang beberapa pengalaman kami selama berada di Boston. Bahkan Abigail mengatakan bahwa ia akan membawaku dan Dhaniya berkeliling kota di kesempatan selanjutnya. Canda, tawa, bahkan obrolan-obrolan ringan menjadi penghias diantara kami dengan beberapa snack yang kami bawa di atas meja taman sebagai camilan.

"Jadi Zhafira," ucap Abigail tiba-tiba. "Tentang kisah seseorang dan padang pasir yang kamu ceritakan semalam, itu tentang seseorang bernama Zaidan?"

"Zaidan?" timpal Dhaniya pelan, "kamu menceritakan tentang Zaidan ke Abigail?"

Aku tersenyum menanggapi ucapan sahabatku itu. "Aku memang menceritakan tentang Zaidan, namun seseorang yang ku maksud bukan lah dia."

"Lalu?" tanya Abigail bingung.

"Seorang pendekar padang pasir."

"Pendekar?"

Kutatap Abigail dengan wajah berserinya nan terlihat luar biasa cantik. Sesekali rambut pirangnya terhempas angin dengan lembutnya. Mata indahnya menatapku seakan mengatakan "ceritakan kepadaku" secara tersirat.

"Akan kuceritakan kisah sang Pendekar, Padang Pasir, dan Dzulfikar."

***

3 tahun yang lalu.

Setelah beberapa jam perjalanan dan sempat mengalami jetlag beberapa saat, akhirnya Yusuf sampai di pekarangan rumah sang paman. Laki-laki tersebut sempat menyalami dan memeluk sang paman dan bibinya setelah sekian lama tak bertemu. Ia juga sempat bertegur sapa dengan beberapa sepupu sekaligus saudara sepersusuannya saat masih kecil.

"Dzulfikar sudah sampai di sini, paman?" tanyanya saat ia dan paman Hamidz berkeliling kandang kuda pribadi milik keluarga paman Hamidz.

"Sudah dari 2 hari yang lalu," balas paman Hamidz. "Ngomong-ngomong, kamu dapat kuda itu dari mana Suf?"

Yusuf tersenyum berseri menatap sang paman dengan wajah teduh. Ia sempat membelai kepala dan leher Dzulfikar saat mereka sampai di kandang kuda nan gagah itu.

She Is not CleopatraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang