Tentang Padang Pasir

28 2 0
                                    

"Ketika aku menatap langit ada rasa marah dalam benakku. Namun, rasa marah itu seakan berganti dengan perasaan hangat penuh keraguan yang menjelma di dalam hatiku. Ada Marwah dan Syari'at yang harus kulindungi."

-Muhammad Yusuf Alaudin Althaf-

*
*
*

"Fariza?!!!!" teriakku penuh kejut tepat di hadapan kakekku.

"Iya Fariza," jawab lembut beliau.

"Tapi.... Kok bisa bah?"

"Lah kenapa ndak bisa toh?"

"Tapi.... Kok mereka bisa saling kenal?"

"Kan mereka sama-sama belajar di Yaman nduk."

"Fayi kuliah di Al-Azhar bah."

"Tapi dia sedang belajar di pesantren Syeikh Ja'far di Tareem, mangkanya ketemu sama Zaidan," jelas kakekku tenang, "kamu kenapa toh nduk kok kayak kaget gitu? Ga terima?"

"Enggak!!! Alhamdulillah kalau Zaidan sama Fariza."

"Beneran?"

"Iya."

"Padahal babah ada penggantinya loh kalau kamu ndak jadi sama Zaidan."

"Bah udah deh, ga usah mulai."

"Loh ini babah serius nduk."

Aku menghela napas pelan sembari duduk di samping kakekku setelah menyiram beberap tanaman milik nenekku. Kusandarkan kepalaku ke bahu beliau dengan nyaman.

"Babah kenapa sih suka banget jodoh-jodohin cucunya," protesku pelan.

Babah tak menjawab, tangannya sibuk membalik buku "Minhajul Abidin" karya Imam Al-Ghazali dengan syahdunya. Kacamata beliau bahkan kini sudah bertengger dengan nyamannya hampir di ujung hidung beliau yang mancung. Wangi beliau adalah aroma favoritku dengan bau bunga yang bercampur dengan kayu manis yang menyegarkan indera penciumanku.

"Bah...." rengekku saat beliau tak menjawab pertanyaanku.

"Hm."

"Jawab aku...."

"Denger ya nduk ya! Babah itu cuman pengen anak-anak dan cucu-cucu babah ndak keliru saat memilih pasangan. Dunia ini sudah kacau-balau nduk, jadi kamu juga jangan sembarangan memilih pasangan. Karena dia akan menjadi penentu kamu di jalan Allah."

Aku terdiam mencerna ucapan babah. Kepalaku masih kusandarkan dengan nyamannya di bahu babah Hamzah seakan itu menjadi obat dari segala kericuhan hidupku. Aku bahkan menutup mataku dengan tenangnya sembari menghirup aroma kayu manis dan bunga khas dari kakekku ini.

"Bagaimana menurutmu tentang Yusuf?"

Mataku terbuka seketika. Aku menarik diriku dan menegakkan tubuhku sembari menatap babah Hamzah lekat. Duniaku seakan kembali porak poranda saat aku mendengar nama itu disebut. Yusuf? Berbicara dengannya saja tak pernah, lantas bagaimana bisa babah Hamzah menjodohkanku dengan semudah ini?

"Bah!" tegasku.

"Yusuf itu anaknya baik nduk, tipe kamu banget pokoknya."

She Is not CleopatraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang