Sang Penyandang Nama

16 3 0
                                    

"Kala hatiku telah dihancurkan oleh semesta dengan hal di dalamnya, aku sadar akan arti kata meyakini sang pemilik nama. Dia adalah cahaya terang yang mampu menuntunku untuk menatap indahnya ciptaan-Nya nan Agung, yakni kamu."


-Muhammad Syafeed Alfareezel Daanish-

*

*

*

Mataku terbuka perlahan kala kudengar kicauan lembut beberapa butung di waktu yang paling krusial dalam hidup setiap manusia. Langit masih terlihat begitu gelap dengan temaram rembulan yang sedikit terpendar di balik gorden putih tipis yang menutupi jendela. Kubasuh wajahku dengan air wudhu saat diriku mendapati sosok mulia yang tengah bersimouh di hamparan sajadah yang menghadap pancaran indah kerlip lampu dari banyaknya gedung pencakar langit dari jendela yang terbuka.

"Fazia?" panggilku pelan yang membuat sosoknya menoleh dengan pancaran mata indahnya yang sedikit sembap.

Aku berjalan pelan menghampirinya seraya menghamparkan sajadah kesucianku dan bersimpuh di sebelahnya. Sepertiga malam ino terasa dingin dan sejuk dengan semilir angin yang menabrak kulit kami dengan lirihnya. Fazia mungkin sengaja membuka jendela tersebut dengan pot berisi aster yang terpajang di sana dengan indahnya.

"Kamu ada masalah?" tanyaku pelan.

Fazia tak menjawab. Perempuan itu hanya menggeleng pelan sembari tersenyum tipis dengan indahnya yang mampu memperlihatkan kedua lesung pipi indah di antara kedua pipinya yang sedikit merona. Tatapan tajamnya menatapku dengan teduhnya seakan mengatakan "jangan khawatir" secara tersirat.

"Hari ini Gus Syafeed akan datang bersama Ummi dan Abah, kamu siap?" tanyanya pelan yang membuatku menatapnya dalam dan tajam.

"Aku ga tau."

Perempuan itu lantas tersenyum indah. Jemarinya kembali menggulirkan butiran tasbih dengan hayi yang terus menyebut Sang Pencipta dengan begitu syahdunya.

"Shalat lah dulu, kita akan mengobrol setelahnya," pintahnya yang membuatku menganggul dan lekas menegakkan shalatku.

Setelah kudirikan 6 rakaat shalat dengan 3 kali salam, aku mulai bersujud dan bersimpuh di atas hamparan sajadahku. Kucurahkan segala keluh kesah dan rasa sakit yang kurasakan dengan begitu dalamnya hingga tanpa kusadari air mata sudah menetes di atas hamparan sajadahku dengan begitu pedihnya. Begitu dalam dialogku dengan Tuhan di waktu yang krusial ini hingga aku melupakan bagaimana Fazia yang masih dengan tenangnya berdzikir di sebelahku.

"Hamba butuh Kun Fayakun-Mu, Ya Rabb," jerit benakku sebelum aku beranjak dari sujudku dan mengusap air mata yang membasahi wajahku.

"Sudah lega?" tanya Fazia yang kubalas dengan anggukan pelan.

"Yang lain masih tidur?" tanyaku.

Terlihat indahnya senyuman Fazia sebelum mengangguk pelan. "Dhaniya dan Raifa masih tidur. Taliyah dan Shafa masih tidur juga?"

Aku mengangguk sebagai wakil dari jawabanku.

"Gus Syafeed saat itu mengunjungiku di Turki bersama Fariza."

"Gus Syafeed? Dengan Fariza? Zaidan juga?"

Fazia menggeleng pelan. "Mereka datang dari Al-Azhar setelah ada acara dengan salah satu guru besar di sana."

"Lalu? Kenapa Gus Syafeed mendatangimu?"

"Karena kamu," balas singkat Fazia dengan senyuman indahnya yang terkadang mengingatkanku dengan sosok sang pendekar.

She Is not CleopatraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang