Amin yang bersatu

27 2 0
                                    

"Di sepertiga malamku, kucoba sebut namamu walau pun aku tau kau tak akan pernah bisa kugapai dengan segala perbedaan kita. Namun, aku yakin, Tuhan akan menerima Amim yang sama dalam setiap sujud makhluk-Nya."

*
*
*

Sepertiga malam kala itu begitu syahdu dengan temaramnya cahaya yang menyinari mihrabnya. Laki-laki itu masih begitu nyamannya melantunkan ayat demi ayat dari kitab suci yang berada di hadapannya. Kala itu Ar-Rahman terlantun dengan indahnya seakan itu dapat mengait perhatian para penduduk langit dengan segala keagungan-Nya. Kala itu pula surah Al-Isra' berkumandang dengan indahnya dalam mihrab seorang perempuan dengan mengenakan mukenah kesuciannya. Lantunannya begitu santun dan terdengar menenangkan saat siapa pun mendengarnya. Air matanya menetes kala ia membacakan surah Al-Isra' ayat 110. Genggamannya kepada butiran tasbih yang ada di tangannya terasa semakin erat. Lantas perempuan itu menunduk sembari meremas mukenahnya, air matanya tak berhenti mengalir.

"Hamba butuh Kun Fayakun-Mu ya Rabb. Ini bukan hanya tentang hati hamba, tapi ini tentang hidup dan mati seorang muslimah," gumamnya pelan dengan suara indahnya.

"Tuhan pasti akan menjawab doa hamba-Nya," suara seorang wanita paruh baya yang menatap sang putri kecilnya itu dari ambang pintu yang terbuka.

Lantas langkah sang perempuan kian lama kian mendekat saat memeluk sang putri. Tangan lembutnya mengusap air mata yang membasahi pipi cantiknya. Sementara itu sang putri hanya terdiam menatap sang ibu.

"Aku bukan ahli surga, dan dosaku begitu banyak bagaikan butiran pasir di dunia ini. Apakah Allah akan menerima semua doaku?" isaknya pelan.

"Allah selalu membuka pintu taubat kepada setiap hamba-Nya."

"Aku takut dengan dunia ini."

Sang ibu tersenyum menatapnya, "maka Allah akan melindungimu dari semua hal yang bersangkutan dengan duniawi."

Lantas sang ibu mengusap lembut kepala sang putri sebelum mengecup keningnya lembut.
"Putri kecil ibu adalah perempuan yang hebat dan ibu ga akan menyerahkan putri kecil ibu kepada sembarang orang."

"Aku sudah menyebutkan nama orang itu ibu, di setiap sujudku."

"Kamu mencintainnya nak?"

"Karena dia, aku jadi sadar akan fananya dunia dan akhirat yang kubutuhkan, aku ingin berserah diri dan memasrahkan segalanya kepada Rabb-ku yang Maha Pengasih dan Penyayang."

"Nama siapa yang putri ibu langitkan."

"Nama dua nabi pemilik wajah terindah yang sering disebutkan dalam syair."

Terlihat segurat senyuman indah di antara bibir sang ibu sembari mengecup kedua telapak tangan sang putri.

"Labbaik," gumam sang ibu.

***

Perempuan itu berjalan menuju sebuah sungai dan menatapnya lekat. Kala itu ini adalah tempat pertama ia bertemu dengan sosoknya. Angin berhembus dingin menghempas wajah indahnya di bawah cahaya matahari nan hangat. Matanya tertutup rapat menampakkan bulu mata panjangnya seakan ia merasakan hempasan angin yang menerpa khimar dan gamis panjangnya. Tempat itu begitu sepi kala itu, hanya sosoknya yang menjadi pewarna dari indahnya alam di sekitarnya. Senyumnya terpancar sempurna dengan jemari yang terus menggulirkan butiran indah tasbih dengan hati yang terus bershalawat tiada henti. Terkadang ia takut dengan hiruk piruknya dunia, terkadang ia harus mengambil keputusan besar dalam hidupnya, namun bagaimana pun kondisi dunia saat ini, ia siap menghadapinya. Dan baginya ini lah sisi lain dari dirinya yang tak diketahui banyak orang.

She Is not CleopatraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang