Prologue

177 6 1
                                    

Air mataku kembali menetes saat kutatap langit yang mulai menguning karena senja, matahari itu ada dan menyinari dunia. Tapi, aku sama sekali tak merasakan kehangatan pada bumi ini. Kembali kupejamkan mataku merasakan pengapnya kehidupan di sekitarku, hingga tanpa kusadari angin itu berhasil menghempas khimarku dengan bebasnya. Entah kapan kaum disekitarku ini merasakan sejuknya angin yang selalu menerbangkan para burung itu? Mataku kembali kubuka saat pandanganku tertuju pada seekor merpati putih yang indah yang kini hinggap di salah satu puing-puing menyedihkan yang tak bisa kurasakan sakit dan pedihnya kisah dibaliknya.

"Tak siap buat kembali?" suara sahabatku kembali menyadarkanku dari lamunan sesaatku.

Aku menoleh menatapnya, gadis cantik itu hanya menatapku dengan mata yang sedikit menyipit, yang sangat kuyakini bahwa ia tengah tersenyum kepadaku di balik cadar hitam yang dikenakannya.

Aku tak menjawab ucapan itu, tapi nampaknya Fariza tau arti dari senyuman simpulku yang kurasa berat untuk kurekahkan. Tapi inilah yang kusuka dari Fariza, ia tak akan menanyakan banyak hal kepadaku di kala aku tengah merasa bimbang. Gadis itu justru berjalan mendekatiku dan memelukku seakan mentransfer sebuah energi yang mampu menguatkanku.

"menangislah," katanya.

Aku tau aku bisa saja menyembunyikan semuanya seakan aku baik-baik saja. Tapi saat aku melihat sekitarku dan memikirkan segalanya, tak ada yang bisa membuatku lebih teriris kecuali ucapan satu kata Fariza yang membuat air mataku tak lagi mampu kubendung.

"Zhaf, gapapa untuk bilang kalau kamu ada masalah. Jangan pendam sendirian, ada aku dan teman-teman yang siap membantumu. Kamu ga pernah sendirian dan jangan pernah merasa sendirian."

Air mataku tak lagi bisa kubendung saat ucapan indah itu terdengar kembali dari bibir cantik Fariza yang tertutup cadar kesuciannya. Isakanku mungkin kini terdengar lirih diantara hembusan angin yang membawa debu padang pasir atau kicauan piluh para merpati yang menginginkan langit kembali terbebas dari huru-hara yang mengerikan. Namun tangisku lantas harus kuhentikan saat suara yang lebih indah dari apapun itu memecah keadaan kami berdua.

"طبيبة؟"

Suara itu berhasil membuatku melepaskan pelukan eratku pada Fariza.

"Kenapa dokter menangis?" tanya Aisyah-gadis cantik berusia 12 tahun yang sudah kehilangan kedua orang tuanya-menggunakan bahasa arab.

"مرحبا عائشة!"

Sapaku mengusap air mataku cepat.

Aku menunduk dan berlutut menyamai tinggi gadis itu dan menatapnya lekat. Aisyah tersenyum manis dengan tatapan yang menguatkanku. Aku mencoba kuat tersenyum menatapnya seakan semua akan baik-baik saja dan gadis itu semakin merekahkan senyumannya.

"Dokter sangat cantik," ucapnya.

"Benarkah? Terima kasih. Tapi Aisyah, kamu lebih cantik," ucapku.

"Kamu tau kan siapa Aisyah?" tanyaku pada akhirnya.

"Istri Rasulullah," jawabnya.

"Benar, kamu tau betapa cantiknya Aisyah, istri Rasulullah?" gadis itu mengangguk.

"Sama sepertimu," tambahku, "pipi beliau akan memerah ketika beliau sedang malu."

"Benarkah?" ucapnya antusias.

"Kalau tak percaya, tanya saja kepada kak Fariza."

"Benarkah kak Fariza?"

"نعم ياعائشة"

Fariza kembali menyipitkan matanya yang menandakan ia tengah tersenyum menatap betapa antusiasnya Aisyah. Ia juga mulai bertumpuh lutut untuk menyamakan tingginya dan tinggi Aisyah. Tatapan mata Fariza terlihat sangat tulus saat menatap gadis 12 tahun itu.

"Apa yang dikatakan dokter Zhafira benar. Kecantikanmu begitu memesona Aisyah. Kamu sangat cantik," ucapnya. Gadis itu tersenyum malu sembari menunduk yang membuat semburat merah itu kembali terlihat di kedua pipi berisinya.

"Terima kasih," gumam gadis itu malu-malu yang membuat kami berdua semakin melebarkan senyuman.

"Kamu tau, kenapa dokter Zhafira juga sangat cantik?" tambah Fariza yang membuat Aisyah menggeleng pelan.

"Karena kalian berdua memiliki nama yang sama," tambahnya.

"Aisyah," ujar Aisyah antusias, "nama dokter adalah Zhafira Aisyah Farida."

Aku terkekeh pelan mendengar pernyataan itu, aku yakin aku tak pernah memberitahu Aisyah soal nama lengkapku. Tapi sepertinya Aisyah selalu membaca id card yang tergantung di jas putihku dan mengukir namaku di hatinya. Kini aku sadar betapa indahnya Tuhan menciptakan keberagaman dan kesetaraan diantara kaum manusia, terutama kaum muslimin.

"Dan Aisyah tau apa yang lebih indah selain kecantikan istri Rasulullah?" tanya Fariza kembali. Gadis itu kembali menggeleng.

"Kecerdasannya," tambahnya.

"Tapi, aku tak bersekolah. Tak seperti dokter Zhafira yang pintar," ucap gadis itu menunduk sedih.

Namun hal tersebut tak menggoyahkan hati Fariza, mata sahabatku itu tetap menyipit yang mengartikan bahwa senyumannya belum pudar dari bibir cantiknya di balik cadar. Ia menepuk pelan kedua bahu Aisyah seakan tengah menguatkannya. Fariza adalah gadis yang cerdas, ada kekuatan dalam tatapannya. Bagiku, Fariza adalah pelipur sekaligus sahabat yang siap menggandeng tanganku menuju kebaikan. Dan kini ia melakukannya kepada Aisyah.

"Aisyah, cerdas bukanlah orang yang menempuh pendidikan tinggi. Tapi mereka yang memanfaatkan akal dan pikirannya untuk hal yang bermanfaat. Seperti kamu, kamu memanfaatkan akal dan pikiran kamu untuk menjadi penghafal kitab suci kita di tengah huru-hara ini. Tidak ada yang lebih mulia dari pada apa yang kamu lakukan saat ini," jelas Fariza sangat berhati-hati dan tulus.

"Benarkah?"

"Kak Fariza benar. Bahkan dokter tak mampu melakukan hal tersebut. Kamu sangat cerdas Aisyah," tambahku mengiyakan. Senyum gadis itu kembali merekah seakan ia tengah menemukan cahayanya yang hilang.

"Aku akan menjadi orang yang cerdas seperti apa yang dikatakan kak Fariza, aku juga ingin seperti dokter Zhafira agar bisa menolong saudara-saudaraku."

"Kamu bisa melakukan itu, tapi kamu harus berjanji satu hal pada kak Fariza!"

"ما هذا؟"

"Jangan pernah menghilangkan Al Quran dalam hatimu. Pegang dan simpan itu erat-erat dalam hati dan pikiranmu, bisa?"

"Aku akan melakukannya, aku janji!"

Tak ada yang lebih membahagiakan dari pada indahnya ucapan yang terlontar diantara bibir gadis dari tanah nan tandus ini. Wajahnya dipenuhi debu yang dibawa angin dari padang pasir, namun senyumannya bahkan lebih indah dari langit senja kala ini. Tak gentar dan begitu menyejukkan siapa pun yang menatapnya. Khimar hitamnya terhembus angin padang pasir yang penuh kedholiman ini. Namun, jejak kaki gadis itu berdiri kokoh dengan tatapan elang yang penuh keberanian seakan dia akan berjuang untuk membebaskan negeri ini.

She Is not CleopatraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang