"Kutulis puisi tentangmu setiap hari. Tunggu nanti akan kuperlihatkan padamu."
-Daffa Ramdan Fauzi-*
*
*Pagi kala itu terasa cukup menyejukkan. Kulihat beberapa dedaunan pohon yang mulai menguning menunjukkan bahwa sebentar lagi akan hadir musim gugur yang selalu kunanti. Mataku masih terfokuskan pada laptop di hadapanku saat kudapati sahabatku, Dhaniya, tengah memainkan ponselnya di sebelahku. Aku masih terpaku pada banyaknya data di layar laptopku hingga sebuah tangan menarik laptopku dari pangkuanku yang membuatku terkejut setengah mati.
"Kebiasaan deh, lu niat jemput kita apa ngeambis sih?"
Suara itu membuatku dan Dhaniya mendongak menatap sosoknya yang diikuti beberapa orang di belakangnya.
"Taliyah," kejutku beranjak dari tempat dudukku dan memeluk sahabatku itu.
Terdengar kekehan pelan dari sahabatku ini saat Dhaniya juga beranjak dari tempat duduknya untuk menyapa Elsha, Sabrina, dan Dini.
"Vaksin meningitisnya aman Din?" tanyaku saat melepaskan pelukan Taliyah.
"Aman Zhaf, tenang aja, ada kak Nabil yang jagain."
"Alhamdulillah."
"Jadi, kita mau kemana sekarang?" tanya Sabrina.
"Kita ke penginapan dulu," ucap seseorang dari belakangku yang membuat ketiga sahabatku ini tercengang.
"Kok kamu di sini Daf?" tanya Elsha bingung.
"Aku keterima S2 di Harvard University."
"Neurology?" sambung Sabrina.
Daffa mengangguk pelan dengan ekspresi datarnya yang sudah sangat bisa dimaklumi para sahabatku ini.
"Oh gitu lu sekarang Daf, ga pernah ngabarin temen lu lagi. Lu anggap gue apa hah?" sindir Taliyah yang membuat Daffa langsung menyahut tas yang perempuan itu bawa.
"Mending langsung aja ya?" ucap laki-laki itu sembari berjalan mendahului kami.
Aku tau bagaimana sikap dingin Daffa saat bersama orang-orang tertentu, tapi sikap dinginnya seakan dapat teratasi dengan baik apabila laki-laki ini berhadapan denganku dan Taliyah. Mungkin karena kami sudah sering bersama sejak saat SMA, bahkan saat ada lomba beregu atau apa pun itu, pak Anton, pembimbing olimpiade kami, tidak akan menjauhkan nama kami dari list. Namun, hal itu justru membuat hidupku kian bewarna, apalagi dengan diriku dan Taliyah yang selalu mendorong Daffa untuk dapat bersosialisasi dengan baik. Bukan berarti Daffa tak dapat bersosialisasi ya, maksudku, dengan sikap dinginnya, mana ada orang yang berani mendekatinya terlebih dahulu?
Kami terdiam sejenak saling menatap sebelum mengikuti langkah Daffa menuju sebuah mobil BMW mewah bewarna hitam yang terparkir dengan rapinya di parking area Boston Logan International Aiport.
"Mobil siapa Daf?" tanya Taliyah saat Daffa membantu memasukkan tas ke dalam bagasi.
"Mobil gue," balasnya datar.
"Buset, emang kalau sultan beda ya?"
"Sebagian ke sini," kata sebuah suara bersamaan dengan berhentinya sebuah mobil BMW yang lain yang tak jauh dari tempat kami berdiri.
"Loh kak Haidar?" ucap Dini terkejut sembari melirikku pelan.
"Lu ga balikan lagi kan Zhaf?" bisik Sabrina di sebelahku.
"Enggak kok," bantahku.
"Baik lah, lega gue dengernya."
"Kalau gitu gue, ning Zhafiy, sama Dhaniya ikut Daffa. Elsha, Sabrina, sama Dini sama kak Haidar ya?" tegas Taliyah sebelum memaksaku memasuki kursi penumpang tepat di samping Daffa.

KAMU SEDANG MEMBACA
She Is not Cleopatra
Romansa"Ketahuilah, apapun yang menjadikanmu tergetar, itulah yang terbaik untukmu! Dan karena itulah, kalbu seorang pencinta-Nya lebih besar daripada Singgasana-Nya."-Rumi ----- "Tuhan sedang menarikmu menuju apa yang menjadi rencana-Nya," ucapan itu memb...