Luka dan Keputusan

14 3 0
                                    

"Jika kau mencintai seseorang, biarkan ia pergi. Kalau ia kembali, ia adalah milikmu. Bila tidak, ia memang tidak pernah jadi milikmu."

- Khalil Gibran-

"Ketahuilah, apapun yang menjadikanmu tergetar, itulah yang terbaik untukmu! Dan karena itulah, kalbu seorang pencinta-Nya lebih besar daripada Singgasana-Nya."

-Rumi-

*
*
*

Aku terdiam kala mobil ini berjalan mendekati jalur utara Gaza yang tampak begitu porak poranda. Kutatap setiap sudut tempat yang begitu menyedihkan dengan banyaknya bercak darah yang terhias piluh di antara puing-puing menyedihkan itu. Lantas mobil yang kami tumpangi terhenti kala sebuah bom meledah di sebuah bangunan yang tak jauh dari mobil kami.

"Astagfirullahaladzim, bagaimana Zaidan?" tanya Faris kala banyak orang tampak berlarian untuk menyelamatkan diri.

"Berhenti dulu, Faris. Kita tunggu suasana menjadi leboh tenang."

Faris mengangguk kala aku mulai mengeluarkan ponselku untuk menghubungi gus Syafeed yang tengah berjaga di rumah sakit dekat dengan post kami.

"أخي، من فضلك أنقذ أخي !!!"

Teriak salah seorang pemuda di samping mobil yang kami tumpangi.

Dengan cepat aku turun dari mobil yang kutumpangi tanpa mengacuhkan panggilan dari Zaidan dan Faris yang mencobah mencegahku.

"أين أخوك؟"

Tanyaku gelisah.

"Dia sedang bermain di taman yang tak jauh dari bangunan itu. Tolong selamatkan saudara saya, Rahmat."

"Zhafira, terlalu beresiko!" bantah Zaidan mencegahku.

"Tinggi bangunan itu mungkin sekitar 4-5 meter, tidak akan mencapai ke taman itu. Mungkin hanya beberapa puing-puing yang terlempar hingga di sana. Dia pasti selamat," ucapku yakin.

"Tapi Zhafira...."

"Aku akan menemukan adikmu," ucapnya menatap pemuda yang berusia sekitar 12 tahun ini. "Bagaimana ciri-cirinya?"

"Dia anak berusia 6 tahun, rambutnya keriting sedikit panjang, namanya Rahmat. Dia punya tanda lahir di punggung tangan kirinya."

"Tunggu di sini, atau kamu masuk ke mobil, aku akan kembali secepatnya."

"Zhafira!!!" tegas Zaidan.

"Aku akan kembali, jika aku tak kembali dalam 1 jam, kalian bisa meninggalkanku."

"Tidak Zhaf!!!"

"Ini keputusanku kak, assalamualaikum," pamitku sebelum berlari melawan arah di mana orang-orang tengah berlari menyelamatkan diri mereka.

Aku berlari memasuki hempasan pasir yang menutup arah pengelihatanku itu. Kutatap sekitarku begitu porak poranda dan hancur. Pung-puing itu membuat diriku merasa sakit kala aku terus berjalan menuju arah taman itu.

"Ya Rabb, hamba butuh Kun Fayakun-Mu untuk menemukan anak itu," jerit batinku kala sebuah tangan menarikku menuju dekapannya saat sebuah tiang listrik jatuh di sebelahku dan hampir menimpaku.

She Is not CleopatraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang