Chapter 55

1.8K 48 1
                                    

Dalam empat bulan terakhir ini, Stella menghabiskan waktunya untuk menyendiri di kamarnya, tidak membiarkan siapapun selain ayahnya menemuinya. Ayahnya pun hanya dapat menemuinya saat memberikan sarapan padanya. Setiap harinya yang dirinya lakukan hanyalah menangis, merenung, menangis, dan merenung. Ayahnya itu sudah melakukan segala cara untuk membuatnya ceria lagi, tapi usahanya selalu saja gagal. Dan Stella merasa bersalah karena sudah membuat ayahnya merasa bahwa dirinya gagal menjadi seseorang yang dapat mengembalikan senyuman di wajah anaknya.

Setiap malam, Stefan pasti duduk bersandar di depan pintu kamar putrinya untuk mendengarkan tangisannya. Dengan begitu, ia bisa merasakan rasa sakit yang putrinya rasakan. Ia membiarkan dirinya untuk merasakan hal itu.

Mendapati anaknya larut dalam kesedihan akan kehilangannya, mengingatkan Stefan pada apa yang ia dan mendiang istrinya rasakan di saat mereka berdua diberitahu bahwa anak semata wayangnya diculik bahkan sampai dinyatakan bahwa anaknya itu meningga...

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Mendapati anaknya larut dalam kesedihan akan kehilangannya, mengingatkan Stefan pada apa yang ia dan mendiang istrinya rasakan di saat mereka berdua diberitahu bahwa anak semata wayangnya diculik bahkan sampai dinyatakan bahwa anaknya itu meninggal karena tidak ada kabar darinya selam bertahun-tahun. Ia paham sekali bagaimana perasaan putrinya itu saat ini. Kehilangan seorang anak adalah satu-satunya hal yang tidak pernah diinginkan oleh orang tua.

Selama beberapa bulan ini, ia yakin pasti ayahnya merasa kesepian karena putrinya terlalu larut dalam kesedihannya sampai ia lupa kalau hanya dirinya lah yang dimiliki oleh ayahnya saat ini. Maka dari itu, pagi ini Stella memutuskan untuk bangkit.

Hidup akan terus berjalan.

Dengan perlahan Stella menghampiri ayahnya yang sedang menikmati segelas kopinya dan sepiring French Toast yang ayahnya bikin sendiri. Setiap harinya, Stefan lah yang memasak untuk mereka berdua. Tidak ada juru masak yang membantu, begitupun juga dengan asisten rumah tangga. Pikir Stefan, putrinya itu tidak akan nyaman jika ada orang lain selain dirinya di situasi seperti ini.

Stella memeluk ayahnya dari belakang dengan begitu erat untuk beberapa saat sebelum mencium pipi ayahnya itu lalu melepaskan pelukannya.

Selagi Stella mengambil tempat di hadapan ayahnya untuk duduk, ayahnya hanya dapat memandangi putrinya dengan tercengang.

  "Good morning, Papà."

Sudah lama sekali Stefan tidak mendengar suara putrinya–selain dari tangisannya–dan juga sudah lama sekali tidak melihat senyumannya.

  "Good morning, Sweetheart. Oh, Thank God! Baru saja ayah ingin mengantar sarapan ke kamarmu setelah ayah menghabiskan ini. Akhirnya ayah bisa menanyakan secara langsung padamu, mau sarapan apa pagi ini, putri cantik ayah?"

Sambil menahan tangisannya agar tidak jatuh, ia tersenyum dan menjawab, "Apakah aku boleh makan French Toast ini sepiring denganmu?"

Stefan menganggukkan kepalanya seraya mengusap kepala putrinya itu dengan penuh kasih sayang. Menikmati sarapan sepiring berdua bersama dengan putrinya adalah hal kesukaannya yang baru bagi Stefan. Setiap selesai mengunyah satu suapan, Stella selalu menanyakan setiap hal mengenai ayahnya.

Irresistible Touch | Irresistible Series #1 (COMPLETED)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang