O8; caught

107K 7.6K 443
                                    

Besok paginya Anin mengalami muntah-muntah hebat lagi, gadis itu sampai terduduk lemas memeluk kloset lantaran rasa mual begitu hebat menyerangnya sejak dini hari. Mau gak mau Anin yang merasa gak punya tenaga tersisa memilih gak masuk kantor hari ini.

Sengaja tanpa pemberitahuan, Anin bahkan gak mengirimkan pesan ke siapa-siapa, membiarkan absensinya di kantor yang udah kotor itu jadi makin kotor, Anin gak peduli lagi, yang ada di otaknya sekarang hanyalah istirahat yang cukup.

Dengan langkah gontai, Anin menaiki tangga sepetak menuju kamar tidurnya di atas. Apartemen Anin ini benar-benar minimalis, hanya ada satu kamar mandi, satu dapur, lalu tangga kecil ke atas dimana ranjang tidur berada.

Bagian lainnya seperti rak sepatu dan lemari pakaian bersebelahan dengan rak penyusun piring juga kulkas beserta freezer-nya. Di lorong yang sama dari pintu masuk juga terdapat kaca besar lalu di sebelahnya ada kamar mandi.

Pokoknya tempat tinggal sehari-hari Anin ini kecil, tapi rapi dan nyaman untuk dia ditempati.

Anin yang masih memakai piyama tidur bermotif beruang itu alhasil hanya bisa berbaring di atas ranjang. Tungkainya terlalu lemah kalau dia bawa paksa keluar apartemen untuk mencari makanan, di tambah perutnya sekarang terasa sedikit kram—ah, pagi ini rasanya kacau.

"Percuma juga kalo gue makan, paling dimuntahin lagi," hela Anin kecewa, perutnya lapar tapi Anin gak mau ambil resiko muntah hebat lagi kayak tadi.

Ting! Tong! Bunyi bel apartemen terdengar, Anin sempat mengernyit lebih dulu, melihat jam di ponsel yang menunjukkan pukul sembilan lewat lima menit alias siapa orang yang udah rajin mendatangi apartemennya di pagi hari menjelang siang begini?

Rasa penasaran Anin terbayar kontan, bukan Calista atau Hasya yang datang, bukan juga tukang sampah atau tukang galon harian yang Anin kira, melainkan sosok Gerald yang mengenakan kemeja putih beserta celana setelan khas kantornya itu berdiri di depan apartemennya sambil membawa bungkusan plastik putih di tangannya.

"Pak Bian ngapain disini?"

Gerald mengedikkan bahu, "Kamu gak mau biarin saya masuk dulu?"

Anin menghela nafas, karena malas berdebat dia mempersilahkan Gerald masuk ke apartemennya, "Pak Bian tau darimana nomor unit apartemen saya?"

Pemuda itu masuk setelah menyusun sepatu di pinggir pintu, kemudian meletakkan bungkus plastik di atas meja makan yang langsung dia jumpai saat masuk. Gerald berbalik menatap Anin, "Kamu kenapa gak masuk?"

"Hah?" Anin menunjuk dirinya sendiri, "Harusnya saya yang tanya, Pak Bian kenapa dateng ke apartemen saya?"

Gerald gak jawab, dia malah maju mendekati Anin sampai jarak tubuh mereka terlampau dekat. Tangan besarnya tiba-tiba aja mendarat di kening Anin, membuat Anin mematung sepersekian detik karena ulahnya.

"Gak panas, tapi muka kamu pucat banget." Aroma citrus dan mint itu lagi-lagi memenuhi rongga penciuman Anin, "Udah sarapan belum? Saya beli bubur tadi." Gerald menjauh, tanpa peduli ekspresi apa yang ditampilkan muka Anin.

"Pak, saya gak ada minta Pak Bian kesini—"

"Memang, saya sendiri yang mau dateng," sela Gerald, mulai membuka bungkusan putihnya yang ternyata bubur, "Ini kamu makan dulu, gak enak badan kan?" Gerald menyodorkan wadah berisi bubur itu tepat ke depan Anin.

Anin sontak menutup mulutnya, melihat bubur ayam yang disajikan Gerald di depan matanya membuat perut Anin terasa diaduk-aduk, aroma bubur yang menyergap ke dalam hidungnya tercium seperti bau yang kurang enak. Buru-buru Anin langsung ambil langkah seribu berlari ke kamar mandi.

Right OneTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang