"Kepala lo gak panas ah," ujar Calista yang tiba-tiba mendaratkan telapak tangannya di kening Anin.
Anin yang semula menyandarkan kepalanya lesu di atas meja spontan menegakkan tubuhnya, terkejut dengan kedatangan Calista dan Nadine ke dalam ruangan. Anin terlalu fokus menikmati kemalasannya sampai gak menyadari ada dua manusia masuk.
Nadine menarik kursi lain di ruangan Anin, "Kemarin kemana sih?" merapatkan diri ke Anin, "Orang-orang chat lu gak ada yang lu bales, sombong amat."
"Tau ya Na, padahal gue perhatiin statusnya aktif loh." Calista berdecak sambil geleng-geleng kepala, "Gue sampe ngira yang aktif arwah lu, Nin."
"Sembarangan banget kalo ngomong," tegur Anin gak terima dikatain arwah.
Calista tertawa geli, ikut bergabung duduk di sebelah Anin, menyodorkan telor gulung yang dia beli di luar gedung kantor tadi, "Mau gak, Nin?"
"Gak usah makasih." Anin menolak, matanya celingukan mencari satu lagi manusia di antara mereka, "Eh ini personilnya kurang, Hasya mana?"
"Masih laporan dia mah, emang disuruh duluan aja tadi," jawab Nadine.
"Gak pada ngantin?"
"Kan ini niatnya nyamperin lu dulu baru mau ngajak ke kantin, kantin yuk?" ajak Calista di ujungnya.
Kalau boleh ngaku Anin lagi enggak dalam suasana hati yang baik untuk makan makanan kantin, nasib bagus aja tadi pagi ada Gerald di apartemennya yang sigap membuatkan sarapan pagi yang bisa diterima perut Anin sebelum pemuda itu pulang.
Ya, apapun itu, Anin gak punya alasan untuk menolak kalau dia gak mau orang jadi makin curiga.
"Kemarin Pak Bian juga gak masuk, iya gak sih Cal?" sahut Nadine, mereka bertiga berjalan masuk ke dalam lift, bergabung sama karyawan lapar lain yang sama-sama satu tujuan menuju kantin.
"Iya, Farel ada urusan sama orangnya gak ada," jawab Calista lantas menoleh ke Anin, "Sehati bener lu sama Pak Bian, absen juga bareng." Niat hati Calista cuma bercanda menggoda Anin, tapi Anin menanggapi serius, raut wajahnya langsung cemberut, Anin diam aja menoleh ke arah lain.
Calista sama Nadine gak menyadari, ketiganya keluar saat pintu lift terbuka dan segera mencari letak meja kosong yang bisa diduduki. Anin menghela nafas menatap nama menu disana, dia udah kerja lama disini jadi udah hafal diluar kepala setiap makanan yang dijual, akhirnya Anin memilih memesan segelas jus alpukat aja.
Menghindari resiko muntah-muntah, entah ini bisa disebut trauma atau bukan, Anin jadi cenderung takut makan makanan berat.
"Jus doang?" kaget Calista melihat Anin cuma duduk bersama gelas jus di depannya, "Gak mau ayam kremes?"
"Gak deh, Cal."
Nadine tertawa pelan, "Lo abis sakit kek malah aneh ya, Nin."
"Iye, pilih-pilih makanan udah macem orang hamil beneran."
"Emang," sahut Anin kecil sekali, gak kedengaran dua temannya.
Ketiga perempuan itu sempat diam menikmati pesanan masing-masing, beberapa menit kemudian, Hasya dengan raut wajah yang ditekuk mendatangi meja mereka sambil menenteng dua tumpuk map di tangan kanannya.
BRAK! Map-nya ditaruh di atas meja gak nyantai sama sekali, mengagetkan tiga orang yang ada disana.
"CAPEKKKK BANGEEETTT!" sungutnya lalu tanpa dosa meraih jus alpukat Anin, menyeruputnya dalam tiga kali sedot, "Thanks, Nin."
Anin terkejut saat gelas jus-nya diambil, isinya sekarang jadi hanya tertinggal seperempat gelas setelah diminum Hasya. Anin bergeming di posisinya memandangi gelas itu, sementara si pelaku tanpa perasaan dosa main duduk aja di sebelah Anin, mulai membaca buku menu makanan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Right One
Fanfiction[end] Karena trauma soal keluarga, Anin memutuskan untuk menjalani hidup monoton tanpa menambahkan bumbu asmara di dalamnya. Bangun pagi, kerja, hahahihi bareng temen, lalu pulang buat istirahat. Siklus yang Anin harapkan selalu seperti itu sampai d...