11; nightmare

61.2K 4.7K 296
                                    

"Mama mau ninggalin Anin sama Bintang disini?"

Perempuan dewasa berpakaian kasual nan cantik itu menunduk, menyamakan posisi tingginya dengan postur tubuh si anak sulung. Wajah cantiknya memberi senyum, lalu tangan halus itu menyentuh pucuk kepala Anin, memberikan tepukan pelan.

"Tapi Anin sama Bintang masih mau tinggal sama Mama."

"Gak bisa, Anin." suara lembutnya mengudara, senyuman masih terpatri disana, "Mama punya keluarga baru sekarang, dan Mama gak bisa bawa Anin sama Bintang kesana."

"Mama, Bintang masih kecil, masih perlu sama Mama," rengek Anin menahan ujung dress yang dipakai Ibunya, "Gak usah jauh-jauh pikirin Anin, coba Mama pikirin Bintang dulu."

Ibu Anin menggeleng pelan, "Anin, maaf... mulai sekarang kamu harus bisa jaga Bintang ya."

Wanita itu meraih tas miliknya yang sebelumnya tersampir di tanah, kembali memberi tepukan pelan di pucuk kepala gadis berusia empat belas tahun itu, kemudian melepas pelan pegangan erat putri sulungnya pada tangan kanannya.

"Anin udah besar, Mama percaya Anin bisa jaga diri sendiri, dan jaga Bintang juga," sahutnya memberi ucapan penuh kelembutan, mencoba menenangkan Anin yang mulai terisak karena menolak perpisahan mereka.

"Mama, Anin gak mau ditinggal!" Anin geleng-geleng kepala sambil berusaha terus menarik Ibunya, "Ma, ajak Anin sama Bintang! Jangan tinggalin kami disini!"

Ibu Anin gak menggubris tangisan yang pecah, tetap lurus berjalan setelah mendorong Anin terduduk di depan teras sebuah panti asuhan.

"Mama!" Anin masih mencoba berteriak memanggilnya, "Jangan tinggalin kami!"

"Mama!"

"Ma!"

"Ma!"


































"MAMAAAAA!"

Anin terbangun dari tidurnya, posisi gadis itu langsung terduduk kaku di atas ranjang dengan nafas yang memburu. Keringat otomatis menjalari pelipisnya walau suhu apartemen Anin cukup dingin malam ini.

Masih jam satu dini hari.

Lagi-lagi Anin mendapat mimpi buruk itu. Mimpi buruk yang sebenarnya bukanlah sebuah mimpi, melainkan memang kenyataan yang dialami Anin beberapa tahun silam. Hari dimana untuk terakhir kalinya Anin melihat wajah itu dari dekat, hari terakhir dimana Anin bisa mendengar suara lembut itu di pendengarannya.

Cewek itu memegangi kepalanya, selalu terasa pusing kalau habis mendapat kenangan buruk itu. Anin gak paham kenapa semenjak hamil, mimpi itu jadi kerap kali mendatangi tidurnya, membuat Anin semakin panik dan cemas akan apa yang dia hadapi kedepannya.

Tangan Anin terulur memegangi perut datarnya, isakan kecil keluar dari bibir gadis itu.

Anin takut, terlalu banyak ketakutan yang tersembunyi dibalik sikap sok santainya itu, sangat takut sampai nyaris rasanya mau mati.

Takut mengecewakan banyak orang.

Takut persepsi banyak orang akan menghancurkannya di suatu hari.

Takut sama masa depan yang belum terjadi.

Lalu yang paling utama, Anin takut gak bisa jadi Ibu yang baik.

Ini sisi lain Anin, tangisan tengah malam selalu menggema di sudut apartemennya. Anin menumpahkan semua rasa kesal, benci, marah, dan takutnya dalam satu emosi. Dia merasa gagal, merasa kotor, merasa menyesal.

Right OneTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang