42; one chance

79.3K 5.1K 270
                                        

"Mau lagi, nak?" tawar Tita kemudian mengangkat satu potong buah apel dengan garpu di tangannya, "Atau mau lanjut makan buah?"

Anin mengerjapkan mata, kunyahan di mulutnya belum selesai, makanan rumah sakit yang dimakannya juga belum habis tapi si Nyonya besar Candala ini udah menawarinya ini dan itu untuk dimakan.

Di atas meja yang ada di pojok ruang rawat inapnya ini udah ada sekeranjang buah-buahan segar yang Anin gak tahu darimana asalnya, seingat Anin sebelum tidur tadi gak ada apa pun di atas sana, mejanya kosong—lalu kenapa sekarang jadi penuh makanan ya?

Tita mengikuti arah pandang Anin, hingga paham apa yang menarik perhatian menantu cantiknya ini, "Oh itu tadi Mami nyuruh Shanum sama Gerald beli buah buat kamu, belum ada yang jenguk kesini kok nak—Dokter belum kasih ijin selain keluarga yang dateng."

"Bintang?" beo Anin memiringkan kepalanya menatap Tita.

"Bintang tadi masuk pas kamu masih tidur, terus katanya pamit dulu keluar nanti balik lagi kesini."

Anin menoleh ke jam dinding yang mengeluarkan suara detiknya, udah masuk jam sore namun Gerald belum juga terlihat di matanya. Terakhir Anin melihat suaminya itu semalam sebelum tidur, sisanya sampai sekarang sosok Gerald belum ada lagi menjumpainya.

Entah apa yang lagi dilakukan pemuda itu. Anin terlalu pusing untuk menerka-nerka.

Kejadian siang kemarin membuat tensi darah Anin turun drastis karena syok yang dialami, Anin pingsan dan baru sadarkan diri lima jam setelahnya saat tensi darahnya kembali normal. Dokter bilang Anin terlalu berani bisa melawan sesuatu yang bisa jadi trauma berat untuk orang lain.

Tetap aja lima jam itu jadi situasi yang menegangkan bagi semua orang.

"Mami udah, Anin kenyang," rengek Anin, terus-terusan dikasih makanan oleh Tita.

Tita terkikik geli, menyingkirkan piring di tangannya ke atas meja, menuruti kemauan Anin. Gantinya Tita malah menyodorkan jeruk yang udah dikupas ke Anin, "Sekali lagi, makan jeruk ini deh sayang banget udah Mami kupasin."

"Mi...." Anin menghela nafas, mau mengeluh tapi diambil juga jeruk itu.

Melihat kepasrahan menantunya, Tita makin tertawa. Kemarin Tita dan Arkan sedang ada di luar kota sewaktu Shanum mengabari Anin masuk rumah sakit. Tita menyayangkan sekali perbuatan Odi yang nekat mencelakai Anin, di satu sisi gak menduga gadis yang jadi teman Gerald dan kenal baik dengannya bertahun-tahun itu bisa melakukan ini.

Tita gak tahu apa yang mau dilakukan Gerald setelah ini, wanita itu gak akan menahan kemarahan putranya sama sekali. Gerald bebas melakukan apa pun. Melihat Anin dan cucunya hampir celaka juga membuat Tita marah, Tita gak mau memberi pengampunan untuk siapa aja yang ingin mencelakai anggota keluarganya.

"Kamu gak mau ketemu Mama kamu, Nin?" tanya Tita mengagetkan Anin.

Anin memikirkan ini juga sejak tadi, selain Gerald—Anin belum melihat Ibunya lagi. Orang yang jadi penyelamatnya kemarin, Anin yakin tangan Falina pasti udah diperban karena luka tusuknya lumayan dalam di lengan kiri.

"Mama ada disini?" balas Anin bertanya pelan.

Tita mengangguk, "Mama kamu selalu disini, duduk di depan ruangan kamu nungguin kamu sepanjang waktu." wanita itu menunjuk ke arah pintu keluar, "Tapi Mama kamu gak berani masuk kalo kamu gak ijinin dia."

"Kenapa?" Anin mengernyitkan dahinya, "Aku anak Mama kenapa Mama gak mau masuk?"

Tita mengedikkan bahunya tanpa mengeluarkan jawaban, kemudian Tita merapikan bekas makan Anin, "Kamu ngomong sendiri aja ya sama Mama kamu." Mengelus pelan bahu menantunya sebelum Tita berpamitan keluar dari sana.

Right OneTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang