17; sibling talk

94.2K 6.4K 161
                                        

Karena gak ada komplikasi serius, besoknya Anin udah diperbolehkan pulang dan menjalani bedrest di apartemennya sendiri. Sesuai intruksi dokter, Anin diminta gak melakukan hal berat atau memikirkan sesuatu yang bisa membuatnya stress.

Untuk poin terakhir Anin berusaha mengurangi walau terkadang pemikiran jelek yang gak bisa dia kendalikan masih beberapa kali datang menghantui isi kepala.

Gerald dan Bintang bergantian menjaga gadis itu, Gerald akan rutin datang ke apartemen Anin di sore hari sepulang dia bekerja atau datang sebelum berangkat ke kantor memastikan Anin gak ada masalah. Sedangkan Bintang sendiri lebih banyak menghabiskan waktunya sepanjang hari menjaga Anin.

Sampai-sampai kalau ada urusan sama temannya seperti sekedar belajar bersama atau nongkrong bareng, Bintang meminta teman-temannya datang ke apartemen Anin. Sambil menemani Anin, Bintang pikir suara teman-temannya juga lumayan bisa mengisi kekosongan apartemen Kakaknya itu, setidaknya Anin gak akan merasa sendirian disana.

Anin benar-benar hanya ada di ranjang sepanjang hari, cuma beranjak kalau ada keperluan ke kamar mandi. Sisanya Anin akan selalu ada di atas ranjangnya sana, Bintang yang rela bolak-balik mengantarkan makanan dan kebutuhan Anin yang lain kesana.

Tiga hari pertama menjalani bedrest Anin masih merasa baik-baik aja, selebihnya gadis itu mulai bosan ada di atas ranjang seharian. Ponsel dan laptopnya udah enggak menarik minat, terduduk bermalas-malasan tanpa melakukan apapun membuatnya jenuh.

Tapi kalau dia kabur diam-diam yang ada si Geraldi Candala itu yang marah.

"Kak Anin." Bintang datang siang ini menghampiri Anin dengan membawa nampan berisi sepiring penuh buah potong bercampur sereal kering dan dua gelas masing-masing berisi susu dan air biasa, cowok itu lalu meletakkan nampan makanan tepat di meja kamar yang ada di sebelah Anin.

"Makasih, Bin." Anin membawa piringnya mendekat, "Temen-temen lo masih di bawah? Udah pada makan belum?"

"Sans." Bintang tersenyum manis, "Otw makan juga kok, ini si Naya yang mau masak."

Anin tertawa kecil, "Oh jadi setelah tiga harian disini baru pada ngide masak sendiri?"

"Gitu lah, dapur lo jadi percobaan, Kak."

"Hahahah gapapa, pake aja." Anin menyuapkan potongan buah ke mulutnya, mengangguk senang merasakan manisnya sari buah memenuhi lidah.

Bintang menatap Kakaknya heran, "Gak bosen makan beginian terus? Lo beneran gak bisa makan yang lain?"

"Kalo bisa, gue juga mau, Bin," ungkap Anin memble sendiri.

Selagi Bintang menemani Anin di atas, lantai bawah mulai menimbulkan kegaduhan. Suara nyaring dari alat-alat masak yang berbenturan satu sama lain disusul suara rusuh Naya yang memarahi Jidan dan Sakha terdengar sampai ke tempat Kakak beradik itu.

Anin gak mempermasalahkan, dia malah tertawa. Sepertinya niat Bintang meramaikan apartemen Kakaknya berhasil, "Gapapa tuh di bawah ditinggal?" tanya Anin ke adiknya.

Bintang terkekeh pelan, "Gapapa, ada Naya dibawah, emang tugas dia tiap hari ngomelin Sakha Jidan, paling mereka ngulah lagi buat Naya darah tinggi, tenang aja dapur lo gak akan kebakar Kak."

"Lucu banget." Anin meletakkan garpunya setelah selesai habis melahap makan siangnya, gantian menerima segelas susu yang disodorkan Bintang, "Sebelumnya gue gak pernah ngebayangin lo bisa sepeduli ini sama gue, Bin, Thanks ya Dik," ucap Anin sedikit mendramatisir biar Bintang kesal.

"Kebalik, mestinya gue yang ngomong gitu—gue gak pernah kebayang lo ada di posisi sekarang, the baby isn't a part of your life plans, right?" sahut Bintang tiba-tiba, Anin hampir tersedak mendengarnya, "Lo dulu pernah bilang males kenal cowok, males pacaran, males ini, males itu, semuanya males terus mendadak sekarang lo bakal jadi Ibu dalam beberapa bulan ke depan."

Right OneTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang